TIGA TAHUN BELAKANGAN bisa dibilang masa-masa emas bagi Hufflepuff.
Piala asrama dimenangkan selama tiga tahun berturut-turut, tim Quidditch yang memiliki seeker terbaik abad ini —Ethan Reed, yang entah sudah berapa Golden Snitch berhasil digenggamnya. Seakan masih kurang, rumor menyebar bahwa calon Ketua Murid sudah terpilih; salah satunya dari asrama kuning-hitam.
Siapa lagi kalau bukan Liam Gordon, si pekerja keras Hufflepuff?
Tidak heran, mengapa dia pantas mendapatkan posisi itu. Dedikasinya sebagai prefek telah mengubah pandangan orang lain terhadap asrama Helga, yang awalnya nol besar terhadap kompetisi dan cenderung miskin perihal rivalitas, menjadi lebih kompetitif. Dia sangat senang membakar semangat dengan pidato-pidato singkatnya di ruang rekreasi sebelum atau sesudah kompetisi.
Seperti yang sedang dilakukannya saat ini; Gordon setengah berteriak di anak tangga teratas ruang rekreasi. Jubah asramanya tertempa cahaya keemasan lampu ruangan. Wajahnya menyiratkan kepercayaan diri yang tinggi, dengan sepasang mata hazelnut yang seolah meneliti setiap wajah di hadapannya.
"Ya, kalian memang tidak memiliki jiwa singa, tidak selincah ular, tidak pula sepintar raven." katanya. "Tapi kalian memiliki bakat seperti seekor musang! Loyalitas, dedikasi, kerja keras, dan fair play yang membuat kalian pantas berdiri di sini! Buktikan kalau dengan semua itu, kita tidak tertandingi! Buktikan kalau tak ada lagi yang bisa meremehkan kita!"
Seperti biasa, Gordon masih belum selesai dengan pidatonya tetapi Titania sudah bersorak dan memancing yang lainnya untuk ikut berteriak. Pengumuman pemenang Piala Asrama masih setengah jam lagi, namun Hufflepuff sudah bertingkah seolah-olah memenangkan kompetisi.
'Sebesar itulah pengaruh Gordon,' Rose membatin.
Kemudian, pandangan mereka beradu. Gordon dan Parker. Hazelnut dan cokelat. Pemuda berkacamata itu melempar senyuman tipis, namun seolah cukup untuk menghangatkan ruangan di musim dingin ini. Dan senyuman yang sama hangatnya —namun sedikit lebih lebar, juga menyambutnya di depan pintu ganda raksasa Aula Besar.
Meldania Peverells akan setia menunggu di sana sebelum benar-benar memastikan kalau Rose dan Titania sudah berada dalam jangkauan retinanya.
"Ey, Mells!" sapa Titania.
"Apa saja yang menahan kalian sampai selama ini?!" tanya gadis itu.
"Gordon dan pidatonya," jawab Rose. "Seperti biasa."
Mereka berjalan berdampingan memasuki Aula Besar. Dan Melda membuntuti, berbelok ke arah kiri bukannya pojok kanan —tempat meja panjang asrama biru-perunggu. Menghiraukan lirikan tajam atau cibiran yang dilayangkan teman-teman se-asramanya.
"Seperti biasa, huh? Pemenang Piala Asrama tahun ini juga pasti Hufflepuff. Sial. Tidak bisakah si Gordon itu memberikan kesempatan kepada yang lain?" kata Melda.
"Ayolah, Mells. Kita semua tahu kalau kau itu tak pernah mendukung asramamu sendiri." sahut Titania sambil menempatkan bokongnya di salah satu meja panjang Hufflepuff, di sebelah Melda. "Gadis-yang-bebas, kau ingat? Itu julukan dari mereka untukmu. Jadi berhentilah sok mendukung asramamu."
Titania mengangkat dagunya, menunjuk pada sebaris murid berjubah hitam-biru. Sedangkan Melda hanya mengangkat bahu tak acuh.
"Memangnya kapan aku mendukung Ravenclaw?" cibirnya sambil menyomot puding coklat di hadapannya. "Aku hanya bilang kalau Gordon perlu memberikan kesempatan menang kepada yang lain."
Meldania baru akan menyuap puding itu ke mulutnya, namun sayang seseorang sudah lebih dulu menyambar. Gadis itu mendelik tajam ke arah Gordon —si pelaku pencurian puding, yang mengambil tempat duduk tepat di seberangnya setelah meminta Rose untuk sedikit bergeser.
"Tersesat lagi, Peverells?" sindir Gordon. "Aku yakin kau cukup pintar untuk membedakan antara warna kuning dan biru."
"Bukan urusanmu, Gordon!" Melda mendengus. "Dan berhentilah mencuri makananku!"
Namun bukan Gordon namanya kalau dia langsung berhenti menggoda si primadona Ravenclaw.
"Semua makanan di meja ini adalah jatah Hufflepuff, Pevs! Ambil saja jatah makananmu sendiri lalu bawa ke sini baru bisa kau akui itu milikmu."
Melda mendecih. Selera makannya hilang sudah. Dia meletakkan garpunya dengan keras, lalu memalingkan wajah. Menolak melihat ekspresi penuh kemenangan Gordon yang menyebalkan.
"Persetan denganmu, Gordon!"
"Bloody hell," umpat Titania, yang secara instan menyita perhatian Rose dan sepasang 'Tom-and-Jerry'. Fokusnya tertuju pada lembaran Daily Prophet yang sedang ia baca. "Koran bodoh ini menulis berita buruk lagi tentang Reed!"
Rose merebut dengan cepat benda itu dari tangan Titania. Gadis Parker mulai membacanya, kalimat demi kalimat.
"Seeker Muda dan Gaya Hidupnya yang Bermasalah." Rose memulai, dia memperhatikan ekspresi sahabat-sahabatnya sebelum melanjutkan. "Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa dibalik karir cemerlangnya sebagai seeker terbaik andalan Hufflepuff, Ethan Reed tidak pernah lepas dari kehidupan yang bebas. Liar dan bermasalah. Perpecahan keluarga membentuk sebuah kepribadian pemberontak. Hal itu yang kita tahu dengan sangat jelas terjadi pada— Ouch!"
Rose meringis. Tulang keringnya ditendang dengan keras oleh Titania.
Gadis pirang itu mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu seperti; "Itu Reed!"
Tiga pasang mata lainnya beralih pada sosok pemuda jangkung dengan jubah Hufflepuff-nya, bersurai hitam ikal acak-acakan yang khas, dan terlihat sedang terburu-buru meninggalkan Aula Besar.
"Lihatlah siapa yang memutuskan untuk meninggalkan aula bahkan sebelum pengumuman Piala Asrama dimulai." Meldania bicara kalem.
Gordon mengalihkan pandangannya ketika Reed melewati mereka. Gadis bersurai hitam-pirang menarik perhatiannya di meja Slytherin. Ivory Malfoy. Berbeda dari biasanya, si gadis Malfoy beranjak pergi tanpa dibuntuti pengikut-pengikutnya. Seakan belum cukup aneh, gadis itu berlari meninggalkan aula sambil menutupi wajahnya dengan sebelah tangan.
"Kau tahu apa yang lebih ganjil dari itu?" tanya Gordon yang masih tersihir oleh adegan dramatis yang baru saja dilakukan Ivory. Adegan itu bahkan berhasil menyita seluruh fokus di aula —termasuk Rose, Titania, dan Melda. "Ratu Drama kita memilih untuk melarikan diri dari teater bahkan sebelum tirai benar-benar dibuka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glass Rose
FantasyRose adalah seorang penyihir berdarah campuran. Ibunya -Josephine Parker, adalah seorang muggle yang bekerja sebagai pegawai asuransi. Meskipun memiliki saudara kembar non-identik, Rose merupakan anak emas ibunya. Josephine menganggap bahwa Rose mer...