NOL

170 16 0
                                    

—Dua Minggu Sebelum Natal Tahun Ke-empat—

SATU LEMPARAN BOLA salju, dan Zachary sudah terjungkal. Jadi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menertawakannya.

"Lemah sekali!" ejekku, masih tergelak. Sedangkan Zac masih tergeletak di atas salju tebal sekitar tiga meter jauhnya dari posisiku, terengah-engah.

Aku sudah bersiap dengan serangan selanjutnya, menggumpal-gumpal salju di tanganku —sebesar mungkin yang bisa kubuat, untuk membalas Zack sesaat lalu. Namun, melihat Zachary yang masih terbaring tak berdaya begitu membuatku tak punya pilihan lain selain berhenti sejenak.

"Ada apa?" tanyaku sambil menghampiri adik kecil yang hanya terpaut tiga menit dariku itu. Dia benar-benar gemetaran! Wajahnya memucat dan napasnya berembun.

Zachary tidak menjawabku. Tubuhnya terlihat lemas. Kuakui memang, anak ini senang sekali menjahiliku. Seperti pada musim panas tahun lalu, ketika kami berlayar di Laut Irlandia Timur dengan sampan kecil untuk mencari ikan —itu sudah menjadi tradisi kami setiap tahun, Zachary yang saat itu sedang menyelam dengan alat bantu sederhana, tiba-tiba berhenti memunculkan kepalanya di permukaan air. Dia benar-benar membuatku ketakutan. Anak itu tak juga terlihat ketika aku menyembulkan kepala ke dalam air untuk mencarinya. Sampai tiba-tiba sampan kecil yang kutumpangi terguling dan suara tawa menyebalkan menginfeksi gendang telingaku.

"Berhentilah duduk manis sambil menontonku, tuan putri! Kau juga harus berusaha mencari makanan sendiri! Kau sudah besar kan, kakak?"

Aku ingat kata-kata itu terlontar dari mulutnya, mungkin karena saat itu sangat berkesan. Zachary mengata– ah, bukan. Dia meneriakkannya dengan semangat, sambil menusuk tombaknya ke udara. Dia berhasil mendapatkan seekor ikan yang lumayan besar.

Namun saat ini aku tidak bisa memaksa pikiranku untuk setuju bahwa Zachary sedang mempermainkanku. Dia mungkin saja tidak sedang berakting– hujan salju beberapa hari terakhir ini berlangsung lebih lama dari biasanya. Zac juga sudah beberapa kali mengeluh kedinginan.

"Ti-tidak apa," katanya tergagap. Itu sangat jarang terjadi kecuali Zac benar-benar sedang menahan sakit. "hanya kedinginan."

"Memang." kataku. "Ayo kembali!"

Zachary hanya melirikku sekilas sebelum memejamkan matanya. Mungkin dia membayangkan sedang berbaring di atas pasir putih Pantai Hawaii.

"Aku kelelahan, Rose." ucapnya dengan suara sedikit parau. "Bantu aku berdiri~"

Aku memutar bola mata sambil membantunya melingkarkan lengan di leherku. Berusaha menariknya berdiri. Namun yang terjadi adalah, tubuhku ambruk menimpanya. Zachary sialan itu menarikku hingga terjatuh, lalu menindihku dan sambil tersenyum setan, dia menguburku dengan salju.

Kejam!

Aku berontak. Melayangkan sumpah serapah untuknya, dan dia baru berhenti ketika ibu kami muncul di ambang pintu.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya ibu, Zac diam mematung seperti macan kehilangan taringnya. "Dewasalah! Kalian sudah bukan anak-anak lagi."

Aku terburu-buru bangkit dari posisiku dan membersihkan pakaianku dari salju. Kukira ibu akan tidur sepanjang hari karena cuaca dingin hari ini ditambah tempat kerjanya mulai meliburkan karyawan karena hujan salju tak berkesudahan ini. Tak kusangka dia akan terbangun karena gaduh yang kami buat.

"Maafkan ka–"

"Apa kami membangunkanmu?" Zac memotong ucapanku. Dan aku tidak yakin itu adalah ide yang bagus. "Kalau begitu maaf, ibu. Ibu pasti kedinginan. Biar kubuatkan cokelat hangat."

"Manner, Zachary Dominique Parker! Menjengkelkan sekali mendengar panggilan itu dari mulut anak yang tidak tahu tata krama."

Nah. Bukankah sudah kubilang kalau itu bukan ide yang bagus?

Ibu memang selalu mendidik kami seperti bangsawan dengan segudang aturan, kesopanan, dan tata krama. Meskipun dia tahu, hal-hal semacam itu takkan pernah berguna di kota kecil pinggir laut seperti Bray. Namun meskipun ucapannya selalu kejam terhadap Zac, aku tetap saja menganggap kata-katanya kali ini agak keterlaluan.

Sedangkan tanggapan Zachary terlalu biasa. Seolah itu adalah ucapan normal seorang ibu kepada anaknya. Zac masih saja memasang senyuman dan menatap lekat ibu kami tanpa berkedip.

"Lalu aku harus memanggilmu apa, Josephine?"

Aku terkejut. Jelas sekali! Adikku mengatakan hal itu juga tanpa beban. Dan ibu terlihat sama terkejutnya denganku. Tidak pernah sebelumnya Zac bersikap kurang ajar pada ibuku. Walaupun tak pernah diperlakukan secara adil hanya karena wajahnya yang mirip dengan ayah kami, Zac tetap menghormati ibu.

"Zac!" tegurku. Zac hanya tersenyum membalasku.

"Apa kalimatku salah, kakak?"

Kalimatnya terdengar seperti sebuah sindiran. Halus namun tajam. Sedangkan Josephine hanya menghela napas. Dia terlihat agak rileks.

"Seharusnya tidak terlalu terkejut. Sikap kurang ajarmu ini tentu diwariskan dari si brengsek itu."

Aku tahu, Josephine mungkin juga tahu separah apa efek kalimatnya untuk Zac. Dia menolak untuk mengerti. Lalu hal yang kutakutkan mulai terjadi. Wajah Zac memerah. Bukan karena kedinginan atau menahan malu, tapi karena amarah.

Kepingan-kepingan salju putih mungil yang berserakan di bawah kaki kami mulai terangkat, bersatu membentuk gumpalan-gumpalan yang memanjang. Setiap ujungnya meruncing, berkilau tertempa cahaya matahari yang redup. Napasku semakin tercekat menyadari gumpalan-gumpalan salju itu mulai naik lebih tinggi, mengelilingi Josephine yang mulai merasa terancam.

"Zachary," ucapku sambil menggenggam tangannya. Menahannya agar tidak melakukan sesuatu yang akan ia sesali.

Namun terlambat. Gumpalan-gumpalan salju itu bergerak laju, menyerang Josephine bak ratusan pecahan kaca. Membuatnya diam tak berkutik lagi. Darah segar mulai mewarnai kulit pucatnya dan perlahan Josephine mulai tumbang.

Aku menjerit bersamaan dengan laju lari Zac yang berusaha menggapai ibu kami. Kegelapan menyebar bak tumor yang menggerogoti cahaya. Pandanganku menggelap. Mungkin kesadaranku akan segera hilang.

Lalu semua benar-benar gelap. Detik selanjutnya kelopak mataku kembali terbuka. Aku mengerjap lalu tersadar. Aku sedang berada di kamar asramaku di Hogwarts, Hufflepuff. Tubuhku terlonjak bangkit dengan kejut yang luar biasa. Napasku tersengal, tubuhku basah oleh peluh. Dan aku masih belum bisa menenangkan detak jantungku yang abnormal.

"Hey, kau mau tidur sepanjang hari?" Pandanganku mulai fokus ketika Titania Smith berkata di ambang pintu. "Ayolah, kita nyaris terlambat di kelas Professor McLaggen!"

Setelah gadis pirang itu menghilang di balik daun pintu, aku baru bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Yang tadi itu hanya mimpi.

Mimpi buruk.

Glass RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang