EMPAT

80 9 0
                                    

'Sialan.' rutuk Rose dalam hati.

Lalu kedua manik cokelat itu terbelalak lebar ketika sesuatu yang sama sekali tidak terprediksi  tertangkap retinanya. Tepat di bawah salah satu pohon ek tua, seonggok daging manusia berbentuk tangan kiri yang sudah membusuk tergeletak. Ya, sudah membusuk. Rose yakin sekali, karena warna kulitnya yang begitu pucat dan bermunculan semacam memar berwarna keunguan —nyaris kehijauan dan baunya sangat buruk. Rose menjerit, tentu saja. Cukup keras untuk membuat Zachary berlari seperti kesetanan ke arahnya.

✩。:*•.─────  ❁ ❁  ─────.•*:。✩

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

MUSIM DINGIN DI Hogwarts sudah mencapai puncaknya. Udara menjelang Natal semakin menusuk tulang, hujan salju yang turun menjadi semakin sering. Ada kalanya langit gelap nyaris separuh hari penuh, para murid sudah mengosongkan Taman Utama dan jembatan dikarenakan liburan hanya tinggal menghitung hari. Kebanyakan dari mereka sudah mulai berkemas. Beberapa bahkan sudah meminta izin untuk pulang lebih awal, biasanya dijemput orang tua mereka atau diantar oleh Garick Whitehead —pengawas binatang liar sekaligus penjaga sekolah, ke Stasiun Hogsmeade.

Rose melangkah melewati menara jam menuju lingkar batu tinggi di ujung jembatan, kemudian keluar dari jalan setapak meninggalkan kastil memasuki hutan. Zachary berjalan santai di depannya, masih menggerutu.

"Dia pasti ingin kita membeku di sini," kata pemuda Slytherin, asap tipis mengepul dari belah bibirnya ketika ia bicara. "Atau mati dicekik Jerat Setan."

Rose memutar bola matanya.

"Tanaman itu lumayan mematikan, kau tahu? Tidak sedikit yang menggunakannya sebagai alat pembunuh." sambung Zachary.

Si gadis berhenti mendengarkan sejak pemuda itu mengeluhkan udara hari ini yang terasa seolah mengulitinya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri, inginnya begitu. Namun suara menyebalkan Zac membuat Rose kepanasan di cuaca sedingin ini.

"And where in the bloody earth we can find it, anyway?"

"For God's sake, Zachary. Berhenti mengeluh!"

Zachary terdiam. Tak berani protes lebih banyak jika Rose sudah kembali ke mode sangarnya. Masalahnya, si gadis Hufflepuff jauh lebih baik dalam menggunakan kutukan Cruciatus ketimbang dirinya. Ditambah ramalan mimpi bodoh yang belakangan meneror gadis itu. Bisa-bisa Rose menggunakan kutukan itu secara tidak sadar karena terpancing emosi —perlu dicatat bahwa Rose sama sekali tidak peduli jika ia akan berakhir di Azkaban. Jadi Zac memilih diam, karena ia belum siap untuk berakhir di Rumah Sakit Jiwa St. Mungo.

Hening akhirnya menyelimuti mereka.

Zachary masih berjalan di depan. Melangkah lebar-lebar, hampir meninggalkan Rose yang berkali-kali terantuk akar pohon. Hutan Terlarang terasa berkali-kali lipat lebih mengerikan di musim dingin. Dimana awan gelap menghalangi sinar matahari untuk menyentuh bumi sepagi ini. Pepohonan di hutan cukup lebat. Banyak cemara di satu sisi dan pohon-pohon ek besar di sisi lainnya. Dedaunannya tertutup salju tebal. Beberapa telah habis berjatuhan dan suasananya agak sunyi, meninggalkan kesan misterius di tempat ini. Padahal hutan ini cukup indah di musim yang lain.

Rose melewati akar-akar pohon yang mencuat di tanah. Tongkat sihirnya ia genggam erat di tangan kanan, hanya untuk berjaga-jaga kalau ada bahaya mendekat. Bagaimanapun, mereka sedang memasuki Hutan Terlarang tanpa didampingi Whitehead. Lain halnya dengan Zachary. Dia sama sekali tidak berniat menarik keluar tongkat sihir dari sakunya.

"Jerat Setan tumbuh di tempat-tempat lembab dan gelap, Zac." Rose mulai bersuara. "Pas sekali, saat ini matahari tidak muncul. Dan coba cari di tempat terdekat dengan air."

"Aku tahu itu, Rose. Kita ini satu sperma yang dibelah dua. Jalan pikiran kita ditakdirkan selaras."

Rose berhenti sesaat. Bibirnya mencebik mendengar analogi konyol yang digunakan Zac. Well, itu terlalu menjijikkan. Tambahan, mereka sama sekali tidak pernah selaras. Mereka bahkan bukan kembar identik. Bagai dua sisi koin yang berbeda, mereka bertolak belakang. Slytherin dan Hufflepuff. Ular dan musang tak pernah memiliki jalan pikiran yang sama untuk bertahan hidup.

Tak lama mereka berjalan, pepohonan hutan tampak habis berganti hamparan salju tebal yang menutupi dataran kecil dengan sebuah danau yang sudah membeku. Mata obsidian pemuda Slytherin menyapu dataran di hadapannya selama beberapa saat. Tak lama kemudian ia menemukan apa sedang yang dicarinya. Di sela-sela akar pohon ek besar di pinggir sungai, sulur-sulur hitam itu tumbuh merambat.

Namun secara tiba-tiba si gadis Hufflepuff menjengit begitu bangkai seekor laba-laba berukuran cukup besar —namun tidak sebesar acromantula, tergeletak di ujung sepatunya. Beruntung hewan itu tidak terinjak olehnya.

"Hei, ketemu! Confringo!" seru Zac yang sudah mencapai pohon yang ditujunya.

Api merah muncul, menyerang sulur-sulur hitam itu. Si pemuda segera menyimpan keranjang yang dibawanya di tanah, lalu merapalkan mantra pemindah untuk memindahkan Jerat Setan yang sudah mati terbakar. Namun Rose tidak memperhatikan. Atensinya tertuju pada bangkai laba-laba lain yang banyak berserakan di tanah tak jauh dari posisinya. Bangkai-bangkai itu tampak menghindari sesuatu sebelum akhirnya mati.

Tapi apa?

Apa yang dapat membunuh laba-laba sebanyak ini?

Virus?

Atau mantra sihir?

Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benak Rose untuk kejanggalan ini. Tanpa sadar, si gadis mulai mengikuti bangkai-bangkai itu. Firasat buruk mulai mengganggunya. Buruknya lagi, Rose merasakan de javu. Ntah kejadian ini pernah ia alami di dalam mimpi atau tidak.

"Tinggal mencari Wolfsbane —dan mau kemana kau?"

Rose baru tersadar ketika suara Zac menginterupsinya. Pemuda itu berteriak di kalimat terakhir, tanda bahwa jarak mereka sudah cukup jauh. Dan lagi, kaki gadis itu terantuk akar pohon yang mencuat. Kali ini Rose terjatuh dan Zachary menertawakannya dengan puas.

'Sialan.' rutuk Rose dalam hati.

Lalu kedua manik cokelat itu terbelalak lebar ketika sesuatu yang sama sekali tidak terprediksi olehnya tertangkap retinanya. Tepat di bawah salah satu pohon ek tua, seonggok daging manusia berbentuk tangan kiri yang sudah membusuk tergeletak. Ya, sudah membusuk. Rose yakin sekali, karena warna kulitnya yang begitu pucat dan bermunculan semacam memar berwarna keunguan —nyaris kehijauan dan baunya sangat buruk. Rose menjerit, tentu saja. Cukup keras untuk membuat Zachary berlari seperti kesetanan ke arahnya.

Waktu terasa berjalan lebih cepat, ketika Zac membantunya berdiri dan mendekapnya erat saat mayat yang membusuk itu cukup bisa diidentifikasi oleh mereka berdua —terlepas dari darah yang nyaris menutupi sebagian wajahnya. Mayat itu adalah Ethan Reed, murid kelas lima Hufflepuff, seeker terbaik andalan asramanya. Ya, pemuda jangkung bersurai hitam acak-acakan yang kemarin melarikan diri dari Aula Besar sebelum pengumuman Piala Asrama. Jika diingat-ingat, itu adalah kali terakhir Rose melihat Reed.

Wajahnya dipenuhi oleh jejak darah yang terlihat keluar dari sela-sela mata, lubang hidung, dan kedua lubang telinganya. Matanya membelalak lebar, mulutnya terbuka, dan ekspresinya menggambarkan kesakitan yang teramat sangat. Rose tak berhenti menangisi mayat Reed, sedangkan Zac penasaran dengan kutukan apa yang bisa menciptakan siksaan semengerikan itu.

Siapa pelakunya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Glass RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang