DUA

89 11 0
                                    

"Ini sudah ketiga kalinya, Zac!" katanya. "Mimpi itu menolak kuabaikan! Mana bisa tenang?!"

"Tapi aku tidak pernah sekalipun berpikiran ingin membunuh ibuku!" gertak Zachary tak kalah gusar.

✩。:*•.─────  ❁ ❁  ─────.•*:。✩

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

ROSEANNE PARKER UNTUK suatu alasan menemukan dirinya tengah menerobos masuk asrama pria Slytherin. Pagi-pagi sekali, tergesa-gesa. Tak peduli dengan pandangan menyelidik orang-orang yang ia lalui, atau siulan jahil para ular jantan Slytherin, atau desisan menjengkelkan murid perempuan yang secara terang-terangan mengatainya; "Tidak tahu malu".

Zachary membuntuti di belakangnya. Masih bungkam, setelah beberapa saat yang lalu Rose menyemburnya dengan makian.

"Bloody hell!" Phineas Lestrange, teman sekamar Zac yang sedang —well, mengganti bajunya, memekik sesaat setelah Rose membuka pintu kamar. "Apa ini? Inspeksi dadakan? Tapi mengapa dilakukan oleh prefek perempuan??"

"Dia bukan prefek, Idiot!" gertak Zac. Oh, akhirnya ada tempat untuk melampiaskan kekesalannya.

"Ah," Lestrange lanjut memakai kaus dan kemeja wolnya santai. "Lalu siapa dia? Kekasihmu?" sambungnya dengan kerlingan jahil.

Rose memutar bola mata. Berlalu melewati Lestrange dan mulai menggeledah koper besar di atas ranjang milik saudara kembarnya, berpikir kalau akan percuma saja menjawab pertanyaan konyol pemuda itu.

"Dia saudariku, Bodoh!" sanggah Zac, berusaha menghentikan Rose setelah dengan sengaja menubrukkan bahunya dengan milik Lestrange.

Kebodohan Phineas Lestrange seringkali membuat Zac takjub. Di saat tak ada satupun murid Hogwarts yang ketinggalan fakta mengenai saudari kembarnya, Phineas Lestrange malah menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu menahu soal itu. Tidak. Bukan berarti pemuda itu bukan tipe yang tidak selalu terdepan dalam urusan gosip. Dia selalu tahu, hanya saja informasi yang diterima otak sempitnya hanya mampu bertahan beberapa detik saja. Tidak pernah bertahan lebih lama dari itu.

Zachary mulai panik ketika Rose mengobrak-abrik isi kopernya dan mengembalikan pakaiannya ke dalam lemari. Memang, dari awal gadis itu sempat mengungkit tentang mimpi buruknya yang datang berulangkali. Mimpi tentang Zachary yang membunuh Josephine di hari dimana salju semakin tebal. Namun ini tidak seperti dia harus percaya semua hal yang ada dalam mimpinya.

Meskipun Roseanne adalah seorang Seer —penyihir berbakat yang memiliki kemampuan melihat masa depan dengan mata batinnya (dalam kasus Rose, lewat mimpinya), dan mimpinya tak pernah meleset, bukan berarti Zac benar-benar akan membunuh ibu kandungnya sendiri terlepas dari apa yang diperbuat Josephine padanya.

"Apa-apaan?" protes Zac, dia masih berusaha mengembalikan pakaiannya yang sudah Rose simpan di lemari.

Gadis itu tetap bersikeras. Dia mendorong, memukul, menendang, bahkan berteriak frustasi saat sadar kalau usahanya mulai sia-sia. Zac mendekapnya erat. Dia tahu, menenangkan Rose yang sedang kalut adalah salah satu dari beberapa hal tersulit dalam daftar hidupnya. Namun bukan Zachary Parker namanya kalau dia tidak berhasil menemukan cara ampuh menghadapi situasi itu.

Orang bijak bilang kalau pelukan memiliki semacam kekuatan magis untuk menenangkan —dan memenangkan, hati wanita. Maka Zac harus memeluknya.

"Itu hanya mimpi, sissy. Tenangkan dirimu."

Rose berontak. Tidak terima kalau mimpinya disamakan dengan mimpi kebanyakan orang biasa, sedangkan tidak sekalipun dalam hidupnya mimpi-mimpi itu berfungsi sebagaimana mestinya —sekedar bunga tidur belaka.

Gadis itu muak dengan semua orang yang menyepelekan ramalan mimpinya. Dia muak karena tak pernah dianggap serius. Tubuh Zac terdorong kuat sesaat setelah dia menyelesaikan kalimatnya. Rose mencengkeram erat bahunya. Sangat kuat, sampai Zac berpikir kalau sweaternya bisa saja robek. Rose nyaris membunuhnya hanya dengan tatapan mata.

"Ini sudah ketiga kalinya, Zac!" katanya. "Mimpi itu menolak kuabaikan! Mana bisa tenang?!"

"Tapi aku tidak pernah sekalipun berpikiran ingin membunuh ibuku!" gertak Zachary tak kalah gusar.

Hening sejenak.

Lestrange masih di sana, duduk di ujung ranjangnya, menonton mereka. Sedangkan Rose masih terdiam, wajahnya memucat, air mata sudah membasahi pipinya.

Zachary kelimpungan sejenak. Dadanya mencelos menyadari air mata si gadis. Dia tidak bermaksud menyakiti Rose. Dia tidak bermaksud membuatnya menangis. Dia hanya tidak percaya pada ramalan mimpi itu —meskipun ramalan mimpi Rose selalu benar.

"Maafkan aku," ucap Zac sambil menghembuskan napas perlahan. Mencoba tenang, emosi takkan menyelesaikan segalanya. Jemarinya perlahan mengusap sisa air mata di pipi Rose. "Kalau kau mau kita tidak pulang liburan Natal tahun ini, baik. Aku menurut. Berhentilah menangis."

Rose menatap Zac dengan mata bulatnya. Menyadari itu, si pemuda kembali menariknya ke dalam dekapan hangat.

"Tapi sampai kapan kita terus seperti ini?" gumam Zac. Rasanya melelahkan kalau terus diteror oleh mimpi-mimpi buruk yang sewaktu-waktu bisa menjadi kenyataan.

Rose tidak menjawab. Di dalam hatinya, dia juga terus menanyakan hal yang sama tanpa mendapatkan jawaban.

Glass RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang