♾♾♾♾♾♾
Ah.. serius aku lelah. Empat hari harus menginap di pedesaan terpencil dimana listrik belum masuk ke sana sungguh membuatku frustasi sekaligus lelah. Jika saja bukan karena dosen botak killer yang pelit nilai itu yang memberi ku tugas, sudah ku pastikan aku tidak pernah ada di desa itu.
"Capek ya, kasian banget sih pacar aku...," tangan besarnya mengelus kepalaku yang sudah parkir di bahunya. Tumben sekali, biasanya aku yang melakukan ini padanya.
Aku mengangguk saja, sedang malas bicara karena aku benar-benar lelah. Bahkan aku terkena serangan flu.
Hari ini hari pertama aku kembali kuliah dan ternyata dosen yang bersangkutan berhalangan hadir, itu sebabnya aku mampir ke sekolah kekasih ku.
"Mau dipijetin gak?" tanyanya sambil mengangkat kepalaku agar menatapnya.
"Yang ada badan aku tambah sakit, Jwi!" ketus ku dengan suara bindeng yang ia tanggapi dengan memanyunkan bibirnya.
Aku tidak bercanda, tangan besar milik Park Jisung benar-benar pantas mendapat gelar Magic Hand. Bukannya membaik yang ada tulang ku nanti mengalami keretakan, itu bahaya.
Aku kembali meletakkan kepalaku di bahunya sambil mengunyel-unyel manja. Ah, sebenarnya itu bukan sifatku, aku tidak terbiasa bermanja-manja ria. Dari kecil aku sudah mandiri, jadi agak aneh rasanya melakukan kegiatan berlabel manja ini.
Jisung menghela nafas berat, lalu menyeruput teh botol dalam gelasnya yang sudah ditambahkan dengan es batu yang sangat banyak sampai memenuhi gelas.
Aku menelan ludah saat suara air mengalir di tenggorokan Jisung terdengar ditelinga ku seperti halnya iklan minuman di TV.
Tapi aku harus tahan, aku sedang flu. Meminum es bukan pilihan yang bijak saat kondisi tubuhku sedang seperti ini. Terlebih Minggu depan aku ada jadwal konsultasi dengan dosen pembimbing.
"Jisung-a.."
"Wae?" tanya nya sambil menatap ku dengan alis yang nyaris bertabrakan.
"Gak jadi deh," jawabku tak bersemangat. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadanya. Tapi aku pikir itu tidak terlalu penting. Dan menurutku itu sedikit childish.
"Jangan buat penasaran dong Nujel. Cepet cerita ada apa? Apa pas praktik ada teman cowok kamu yang usilin kamu?"
"Bukan itu ih.." sungutku sebal. "Sebenarnya ini masih masalah lama yang udah pernah kita bahas."
Jisung meluruskan tubuhnya sambil menghela nafas panjang. Feeling-ku mengatakan kalau Jisung mengerti kemana alamat pembicaraan ini.
Aku mengangkat kepalaku, walaupun terasa pusing yang lumayan menyusahkan, aku tetap membiarkannya. Aku menatap Jisung yang juga menatapku.
"Siapa? Kali ini siapa yang bilang?" tanya nya dengan nada khawatir.
Aku menggelengkan kepala kuat, menjawab pertanyaan Jisung yang membuatku sedikit takut ia akan terlibat perkelahian kembali dengan kakak tingkatku.
"Bukan Ji, bukan siapa-siapa. Tapi aku sendiri," lirih ku sambil menatapnya sendu.
Okay, ini sedikit melow. Tapi mood ku memang sudah tidak bagus semenjak mendapatkan tugas dari dosen sialan itu.
"Kan aku udah bilang jangan dipikirin Nujel. Aku gak pernah masalahin hal itu," jelasnya sambil mengusap bahuku pelan yang justru semakin membuat diriku semakin kalang kabut.
Kurasakan buliran air sudah menumpuk di pelupuk mataku. Ah, shit! Aku benci menjadi lemah di depan orang lain.
"Tapi aku masalahin itu Ji. Dua tahun, kamu bayangkan Ji. Aku udah empat tahun makan nasi kamu baru lahir ke dunia. Bukankah itu aneh?"
Jisung memelukku erat. Meskipun ada beberapa tatapan tak mengenakan dilemparkan oleh teman sekelasnya yang sudah mulai berdatangan karena sebentar lagi jam istirahat habis, ia tetap tidak peduli.
"Dengar ya Moon Jaeri, pacarmu yang masih bocah ini mau bicara," ucapnya sambil melepaskan pelukannya agar bisa menghapus air mataku yang mengalir di pipiku.
"Kita itu tidak aneh, tapi unik. Kalau kata guru seni budaya aku, semakin unik sebuah karya seni semakin tinggi juga nilainya. Itu artinya kita berharga. Kamu dengar aku kan, hem?"
Aku mengangguk sambil membersit hidungku yang sudah meler akibat menangis.
Dia, Park Jisung. Bocah yang sering diremehkan karena kecerobohannya, hari ini ia membuktikan kepadaku, bahwa ia mampu berfikir kritis layaknya orang dewasa.
Aku salah, pernah menilainya hanya bisa bermanja-manja dengan ku. Dia jauh lebih dari itu.
"Sekarang ayok pulang, aku antar."
Aku menggeleng, "Bentar lagi kamu masuk, aku pulang sendiri aja."
Dia menghela nafas berat, "Mana mungkin aku biarin kamu pulang sendiri disaat begini? Udah gak apa-apa, sekali-kali bolos."
"Jwi.."
"Okay aku kalah, tapi bukan berarti aku biarin kamu pulang sendiri. Tunggu di fotocopy bawah. Nanti ada orang yang aku suruh anterin kamu pulang."
"Ih malah ngerepotin orang lain. Gak mau ah," keluhku.
"Dia bukan orang lain. Kamu kenal dia kok. Udah ya, aku masuk dulu. Hati-hati Nujel!"
"Hem.."
♾♾♾♾♾
Apaan ini woy. Gajelas banget wkwkwkw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filsafat Hati ; Jisung
Fanfiction"Cinta bukan perihal usia." Itu bukan pertama kalinya pria yang lebih muda dua tahun dariku mengatakan hal demikian untuk meyakinkan ku bahwa hubungan kami bukanlah sebuah kesalahan. "Aku sayang kamu, tanpa alasan. Termasuk usia."