Chapter 3 - Bertahan Hidup

0 0 0
                                    

Sudah hampir beberapa jam dari peristiwa penyerangan terjadi, asap yang tadi berkepul sangat tebal mulai hilang di bawa oleh angin.

"Mereka membakar tempat ini tanpa tersisa"

"Sudah kutebak, setiap melakukan penyerangan mereka tak pernah menyisakan apapun, baik manusia ataupun rumah-rumah"

Pria itu memegang sebuah papan kayu bertuliskan "Blacksmith", hanya puing itu yang tersisa dari bekas rumah yang telah hangus terbakar di depan matanya.

"Ayo pergi, tidak ada lagi yang bisa diambil dari sini"

Pria satunya lagi, berbadan besar dengan rambut panjang sebahu yang sedari tadi mencari sesuatu yang tersisa untuk diambil hanya menemukan tak lain sampah dan puing-puing tak berarti.

***

Flint terbaring di pinggiran sungai, lalu perlahan membuka matanya.

"Uhuk uhuk!"

Ia mencoba berdiri namun tubuhnya terasa sangat lemas, matanya sangat sayu ditambah tubuh kecilnya yang basah kuyup membuatnya terlihat sangat menyedihkan.

Sekuat tenaga ia menyeret tubuhnya, memaksa tiap otot untuk bergerak menjauh ke dalam hutan, mencoba kembali ke rumahnya.

Namun ia tidak tau dia dimana, hutan belantara tak terhingga dengan pepohonan besar menutupi jarak pandang Flint untuk mengenali hutan ini.

Hingga akhirnya ia duduk bersandar, meratap ke langit.

Sampai perutnya yang keroncongan menganggu pikirannya.

"Lapar.."

Ia berdiri, mencoba mengais apapun yang ia lihat namun tak ia temukan apa yang bisa dimakan.

Kondisi anak itu terus melemah, kepalanya mulai pusing, namun tubuhnya tetap ia paksakan bergerak.

Berjam-jam ia mengais dari satu tempat ke tempat yang lain.

"Buah!"

Buah berwarna kuning itu sangat familiar, di desa mereka menyebutnya apricot.

Entah kapan terakhir kali ia sangat bahagia dengan hanya melihat buah apricot.

***

Malam datang, angin berhembus sangat kencang menusukan dinginnya ke tubuh Flint yang hanya dikemas pakaian yang masih agak basah, mulutnya menggigil hebat.

Anak itu memeluk tubuhnya sendiri, mencoba untuk bertahan dari dinginnya angin malam.

"Air hangat...."

"Daging akan sangat enak ya.."

Flint tersenyum pasrah.

"Ayah pasti sudah bertemu ibu ya..., pasti menyenangkan sekali..."

Ibu Flint meninggal ketika ia masih berumur 5 tahun, ia sakit keras karena memang tubuhnya sangat lemah, meskipun ia masih kecil ia merasa kehilangan yang amat sangat.

"Ayah, ibu, aku akan menyusul.."

Pandangannya meredup, anak itu terlelap dengan senyuman manis di wajahnya.

"Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menyerah, Flint!"

Flint melihat ayahnya berdiri di depan dengan wajah tegas seperti biasa.

"Flint, kamu adalah anak terhebat di seluruh dunia ini, ibu percaya padamu"

Sang ibu duduk sembari mengelus rambut Flint.

"Ayah, ibu..."

"Ada kalanya kita jatuh, ada kalanya kita kalah, namun sebelum jantung di tubuhmu masih berdetak, tidak ada alasan untuk berhenti, berdiri lah Flint!"

"Ibu yakin kamu pasti bisa, Flint anak yang kuat kan?"

Senyum ibunya membuat anak itu meneteskan air matanya, ia mencoba menggapai kedua orang terkasihnya namun sekuat apapun ia meraih, mereka telah pergi jauh, sangat jauh.

"Ayah, ibu!"

Flint terbangun dari tidurnya, hari sudah hampir siang ketika sinar mentari sudah tembus ke dalam hutan.

"Ayah, ibu, kalian benar" ia berdiri, mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Tidak ada alasan untuk menyerah, tidak ada alasan untuk berhenti bergerak!"

Ia berteriak sekuat tenaga, mengeluarkan seluruh tenaganya di dalam teriakan yang membakar tiap sel otot di tubuhnya agar tetap semangat dalam hidup.

ARTEUS SAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang