Part 18

278 47 5
                                    

"Jeno?"

Siyeon melongo saat melihat siapa yang ada di balik pintu rumahnya.

Tadi saat ia sedang membantu ibunya mengaduk adonan kue, terdengar pintu diketuk.

Dan Siyeon sama sekali tidak menyangka Jeno yang datang ke rumahnya malam-malam begini.

Jeno tak menjawab. Ia hanya menatap Siyeon nanar, seluruh kata-katanya berhenti di tenggorokan.

Jeno merasa, jika ia mulai bicara, maka air matanya akan tumpah saat itu juga.

Siyeon menatap Jeno bingung, lalu menyadari bahwa Jeno masih menggunakan seragam sekolah.

Apa pun masalah Jeno, pasti sangat berat. Jeno tak pernah terlihat sekacau ini sebelumnya.

Siyeon meraih lengan Jeno, lalu membawanya masuk dan membuatnya duduk di sofa.

Siyeon bisa melihat kalau Jeno bergetar, dan ia yakin itu bukan karena dinginnya malam. Siyeon lantas duduk di sampingnya dan menatapnya yang masih menerawang.

Siyeon menggigit bibir. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan dalam situasi seperti ini.

Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Jeno, tapi ia tidak tahu ia tidak berhak. Ia sebisa mungkin ingin menjaga jarak dengan anak laki-laki itu.

Siyeon mencoba mengulurkan tangan, tapi segera terhenti di udara. Ia tidak yakin mau melakukan apa.

Setelah berpikir beberapa saat, Siyeon meletakkan tangannya di bahu Jeno dengan hati-hati.

Jeno menoleh, lalu menatap Siyeon. Jeno tidak tahu apa yang membuat dirinya ingin bertemu anak perempuan ini.

Jeno tidak tahu apa yang membuat kakinya melangkah ke rumah ini. Jeno tidak tahu apa pun lagi, ia hanya ingin seseorang di sampingnya.

"Gue..." Jeno tercekat.

Dadanya terasa sesak, kepalanya terasa sakit.
Ia sama sekali tak bisa bernafas.

Pada akhirnya, Jeno terisak tanpa mampu mengatakan apa pun.

Air matanya yang ditahan bertahun-tahun, akhirnya bisa mengalir keluar, air mata yang sepertinya tidak akan ada habisnya.

Siyeon menatap Jeno sedih. Ia tidak tahu apa persisnya masalah Jeno, tapi ia bisa ikut merasakan kepedihan hatinya.

Siyeon sendiri bisa merasakan air mata mulai merebak di matanya.

Bahu Jeno sekarang sudah berguncang. Ia tertunduk, menjambak rambut dengan kedua tangan, dan membiarkan air matanya jatuh ke lantai.

Siyeon tak dapat melakukan apa pun selain mengusap punggung anak laki-laki itu pelan.

Siyeon mendapati ibunya sedang menatap mereka dari balik buffet. Ibunya tampak tersenyum, lalu mengangguk.

Siyeon tidak tahu apa artinya, tapi ibunya sudah keburu kembali ke dalam.

Selama beberapa menit, Siyeon membiarkan Jeno menangis. Pada saat ia sudah sedikit tenang, Siyeon mengulurkan sekotak tisu.

Jeno mengambilnya tanpa semangat, lalu menyeka air matanya.

"Udah sedikit lega?" tanya Siyeon akhirnya.

Jeno menyedot hidung, lalu mengangguk. Ia tahu, tampangnya sekarang pasti sangat menyedihkan untuk dilihat.

Siyeon mengangguk-angguk, lalu kembali terdiam. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana, ia ingin bertanya tapi takut mencampuri urusannya. Ingin menghibur, tapi tidak tahu harus bagaimana.

OUR STORY (REMAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang