1. Begin

702 118 50
                                    

Cerita ini murni hasil kehaluan otak abstrak gue, jika ada kesamaan nama tokoh, alur, atau tempat kejadian ini hanya kebetulan semata. Oke.
Happy reading :)

"Dia sepenuhnya sadar telah meniti garis hidup yang lebih buruk dari kandang babi. Tak ada suka, tawa, bahagia bahkan cinta yang menghampiri hidupnya. Lalu, saat satu kebahagian mulai merayap mendekatinya, haruskah semesta begitu kejam merampasnya kembali dalam satu kedipan mata?"
-Cavista Adelia-

Gadis itu membenamkan kepalanya diatas meja, keringat dingin terus mengalir membasahi keningnya.

Helaan napas kasar terdengar beberapa kali. Tubuhnya ternyata tidak bisa diajak kompromi, berulangkali dia berusaha fokus kemateri pelajaran yang tengah disampaikan pak Darmo dan kepalanya menjadi bertambah sakit.

"Cavista Adelia!"

Cavista terlonjak saat suara lantang itu menggelegar memenuhi setiap sudut kelas. Teriakan itu membuat kepalanya seakan ingin meledak saat itu juga.

"Berani sekali kamu tidur dipelajaran saya!" sentak pak Darmo dengan wajah galaknya.

Cavista menunduk dalam, menghindari tatapan tajam dari si guru killer dan teman-teman yang semua tertuju padanya.

"Ma..af, saya sa..sakit pak." ucapnya gemetaran.

Pak Darmo berjalan menghampiri bangku Cavista, setelah melihat wajah pucatnya yang bagai mayat hidup, raut wajah pak Darmo berubah lunak.

"Ya sudah. Kamu ke klinik kesehatan saja sekarang, minta obat pada dokter dan istirahat disana." Titah pak Darmo kemudian.

"Biar saya yang antar Cavista pak."

Sosok menjulang yang sedari tadi hanya bisa melihat punggung Cavista dengan cemas dari bangku belakang itu memohon diri untuk mengantar Cavista.

"Baik. Silahkan Dava."

Davapun memapah tubuh mungil Cavista dengan lembut, membuat siswa-siswi yang melihat itu berbisik sinis.

Namun baru satu langkah mereka keluar, tubuh Cavista tiba-tiba ambruk. Telinganya berdengung dan kepalanya terasa amat sakit. Sebelum pandangannya kian memburam ia bisa melihat wajah panik Dava yang meneriaki namanya.

Entah berapa lama Cavista pingsan. Namun saat ia terbangun, ia menemukan Dava yang duduk disamping ranjangnya.

Pemuda itu menatapnya lega, namun raut wajah cemas masih terlukis jelas diwajahnya yang rupawan. Cavista perlahan menegakkan tubuhnya dibantu Dava.

"Lo nggak papa? Bagian mana yang sakit? Bentar, gue panggilin dokter dulu."

Cavista menahan lengan Dava cepat, "Gue nggak papa."

"Ck, nggak papa apanya? Lo demam tinggi, tubuh lo juga banyak memar. Kalo nggak diobatin nanti tambah parah." Tukas Dava, masih dengan raut cemas yang kelewat kentara.

"Bentar lagi juga sembuh sendiri kok. Gue cuma butuh istirahat aja." Cavista mencoba mengulas senyum menenangkan.

Dava hanya bisa menghela napas berat mendengar balasan gadis dihadapannya.

The Last WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang