Apaan sih, ini? Kenapa layar monitor bisa warna-warni begini kayak tivi selesai siaran zaman dulu banget? Yang bener aje!
Dia datang pagi-pagi bukan untuk menonton layar monitor, kan? Kalau begini, bagaimana target laba 20 persen yang diminta si bos rese sekaligus pelit itu bisa tercapai? Bisa-bisa Monik menghabiskan waktu lebih dari tiga tahun untuk bekerja di perusahaan yang membosankan ini?
"Dasar enggak punya perasaan. Lo itu komputer, lo diciptain buat bantuin kerjaan manusia. Kalo gini mah bukannya bantuin, lo malah bikin manusia naik darah, woi! Komputer belagak banget, sih? Gue ganti tahu rasa, lo!" gerutunya panjang.
Jengkel setengah mati, Monik menyentil layar monitor beberapa kali dan mendesis saat ujung telunjuknya terasa sakit, dan kejengkelannya makin menjadi. Sekali lagi dia menyentil dengan gemas, dan langsung menjerit saat kukunya yang panjang dan baru dimanikur patah.
"Komputer rese!"
***
Aiden mengangkat kepalanya saat mendengar bunyi berdebum dari arah pintu, dan matanya yang teduh langsung melebar saat melihatnya. Seorang wanita yang cantik seperti boneka memandangnya dengan senyum polos yang tersungging di bibir merah jambunya. Aiden terpaku. Bidadari, pikirnya.
Dari mana datangnya wanita ini? Ada ya, bidadari yang hidup di antara manusia?
Tepukan di pundaknya membuat Aiden terenggut dari khayalan, dan dia menoleh kepada Ben, rekan kerjanya yang sejak tadi sedang mengobrol dengannya.
"Mas Aid, Mbak Monik manggil, tuh...."
Aiden terpaku. Mbak Monik? Bidadari ini bos marketing yang terkenal itu?
"Ai ... Ai ... siniiii." Bidadari ... ups ... bos marketing itu memanggil dengan suara cempreng, yang sementara ini masih terdengar merdu di telinga Aiden.
Aiden terpesona. Terpesona setengah mati pada Bidadari Monik yang ....
"Ai ... woi ... Ai ... budek apa gagu sih? Sini, ya elah!"
Oke ... ini bukan bidadari. Perempuan ini Barbie hidup bersuara cempreng bak kaleng rombeng, yang membuat telinganya berdengung, dan mungkin butuh untuk pergi ke dokter THT dengan segera.
***
Jadi, ini kepala bagian IT yang baru dan sedang jadi pembicaraan semua personil cewek di divisi marketing? Cakep. Mirip sama Aaron Kwok ... eh, bukan, lebih mirip Jimmy Lin. Tapi ... kayaknya kok masih muda banget, ya? Uhm ... pasti belum seumur Paris, deh. Monik terus bergumam dalam hati.
"Ini cuma masalah kabel, kok, Mbak. Enggak ada yang serius," kata Aiden, mengalihkan Monik dari pikirannya sendiri.
"Kabelnya kenapa? Digigit tikus? Ih, Ai ... aku enggak jorok, kok. Ngapain, sih, tikus main di bawah mejaku?" sahut Monik sambil bergidik membayangkan makhluk mungil bergigi seri tajam itu sedang berseliweran di bawah mejanya.
Aiden muncul dari bawah meja dan mendongak memandang Monik sambil tersenyum lembut.
"Bukan tikus, Mbak. Cuma terlepas. Mungkin enggak sengaja kemarin sore kaki Mbak Monik nyenggol, jadi kabel yang tersambung ke server sedikit longgar," jelasnya.
"Oh. Tapi ... lihatin sekalian, Ai. Nyalain dulu dari ulang, terus cekkin satu-satu dataku. Aku enggak ada waktu buat bolak-balik ke ruangan IT atau pantri, kan? Hello! Aku tuh eksekutif paling sibuk dan paling oke di kantor ini, aku enggak bisa ngabisin waktuku cuma buat hal enggak penting," oceh Monik panjang lebar.
Aiden sedikit mengernyit mendengar suaranya yang benar-benar mengganggu. Dia mengangguk, lalu bangkit dan duduk di kursi Monik. "Ya, Mbak. Saya cek dulu," katanya sambil menyalakan komputer itu.
Monik mengangguk cepat. Matanya yang indah mengawasi dengan saksama setiap gerakan Aiden yang tampak fokus dengan apa yang dikerjakan.
Selang beberapa menit, Aiden menghela napas, dan menoleh. "Sudah selesai. Mbak Monik mau coba?" tanyanya.
Monik mengangguk cepat, dan bergegas duduk di kursinya lalu mulai menggerakkan mouse-nya dengan mata tertuju ke layar monitor.
"Uhm ... Mbak Monik...."
"Ya, Ai?"
"Mbak Monik bisa bangun dulu?"
"Kenapa?" Monik mengerutkan kening bingung.
"Anu ... Mbak Monik menduduki saya."
Beberapa saat Monik melongo, lalu terlompat berdiri dan sambil bergoyang-goyang di tempatnya dia terkikik.
"Hihihi ... maaf ya, Ai. Aku lupa masih ada kamu di situ," ujarnya lucu. "Padahal kamu gede, ya?"
Aiden tersipu-sipu dan bangun dari kursi dengan salah tingkah. Tangannya terarah canggung ke komputer.
"Silakan, Mbak, dicek lagi."
Monik menyeringai, lalu kembali duduk. "Makanya, Ai. Kamu tuh kalo bergerak cepetan dikit. Jangan karena aku terlalu cantik kamu kira aku lelet dan kemayu. Aku tuh gesit, Ai."
Aiden berdeham. "Iya, Mbak."
"Pantesan tadi kursi aku tuh tinggi amat, eh ... enggak tahunya ada Aiai," gumam Monik yang membuat Aiden menggaruk kepalanya. Sejak kapan dia ganti nama?
"Oke! Kayaknya oke semua, Ai."
"Oke, ya, Mbak? Kalau begitu bisa saya tinggal, kan?"
Monik mengangguk. "Bisa. Makasih ya, Ai," ucapnya tulus sambil berkedip polos.
Aiden terpaku sejenak melihat betapa manisnya ekspresi sang bos marketing, sebelum kemudian tersenyum canggung.
"Sama-sama. Permisi, Mbak."
Sambil mencoba menghilangkan rasa canggungnya, Aiden beranjak meninggalkan ruangan Monik, sementara sang bos marketing sudah mulai tenggelam dalam kesibukannya kembali tanpa merasa bersalah sudah membuatnya salah tingkah.
Hm ... memangnya dia tidak kelihatan, sampai Mbak Monik mendudukinya? Aneh banget, kan? Tapi ... cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Monik (Sudah Terbit)
ChickLitMonik selalu salah jatuh cinta, Aiden baru patah hati. Apakah mereka jodoh? Cerita sudah terbit dan dihapus sebagian besar. Bisa didapatkan di toko-toko online atau hubungi eike langsung via inbox.