Kepala Marketing

1.8K 132 2
                                    

"Mbak Monik, bisa ke ruangan saya?"

Suara Edward Wijaya, atau biasa dipanggil Pak Edo, bos besar pemilik perusahaan, sekaligus ayah dari Monik sang kepala marketing terdengar serius dan sedikit dingin.

Dengan mata membesar dan mulut sedikit mengerucut Monik mengangguk. "Baik, Pak. Sebentar saya simpan pekerjaan saya dulu," jawabnya dengan nada formal.

Meski putri dari pemilik perusahaan, Monik selalu berbicara kepada Edo dengan cara formal selayaknya seorang karyawan kepada atasannya. Edo yang mengharuskan begitu untuk profesionalitas.

Edo mengangguk sekilas lalu mendahului ke ruangannya. Saat Monik menyusul dan ikut masuk, Edo memberikan tanda kepadanya untuk menutup pintu.

"Kenapa Papa mau ngomong sama aku?" tanya Monik langsung, sebelum duduk.

Edo menatapnya tajam. "Pagi tadi ada insiden, betul?" Dia balik bertanya.

Monik mengerjap cepat, lalu berpikir. "Enggak ada," jawabnya. "Emangnya Papa denger insiden apa?"

Edo menatapnya lama. "Papa dengar kamu menyuruh kepala bagian IT untuk memeriksa komputermu. Benar?"

Monik mengangguk. "He'eh."

Edo menghela napas. "Monik, kepala bagian IT dan kepala bagian marketing, keduanya sama dalam struktur organisasi perusahaan. Kamu menyuruh Aiden sampai masuk ke kolong meja hanya untuk memeriksa kabel yang kurang terpasang?"

Monik menatap polos. "Emangnya kenapa? Papa kan enggak ada, ya aku enggak bisa minta tolong sama Papa. Gimana, sih? Papa kan tahu aku cuma bisanya pake komputer, mana aku tahu gimana ngutak-atik barang enggak berguna itu?" omelnya.

Edo terdiam. Dia lupa, buat Monik, struktur organisasi mana berlaku?

"Kalau alasan kamu minta tolong dia karena Papa enggak ada, kan bisa minta anak buahnya Aiden. Dia punya anak buah, kok."

"Dih, Papa. Kalo adanya Aiai, ngapain mesti ribet minta yang lain? Aku mah yang paling kelihatan aja di depan mata. Lagian, Aiai itu enggak lebih tua dari aku, jadi aku boleh dong nyuruh dia. Kecuali kalo dia lebih tua, baru aku kualat."

"Angela Dominique, ini bukan masalah kualat atau umur, tapi pantas atau tidaknya tindakan kamu. Papa bisa minta kamu untuk profesional, kan? Ingat, kamu adalah eksekutif di sini, dan semua orang melihat kelakuanmu. Apa kata mereka kalau tahu kepala marketing menyuruh-nyuruh kepala bagian IT? Belum lagi, bisa-bisanya kamu menduduki dia? Untung dia enggak mikir yang macam-macam, Mon ... Mon."

"Ih, apaan sih, Pa? itu kan enggak sengaja. Abis dianya enggak gesit gitu, ya keburu aku udah duduk duluan sebelum dia berdiri."

"Memangnya kamu enggak bisa cek dulu orangnya masih ada di kursi kamu atau enggak?"

"Aku enggak sempet, Pa. Gerakanku tuh terlalu gesit."

Edo mengurut pangkal hidungnya. "Alasan! Untung cuma Papa yang lihat kejadian aneh gitu pas lewat depan ruangan kamu. Coba kalau orang lain? Apa kata mereka?"

"Itu kan cuma insiden kecil, Pa. Enggak bakalan ada masalah."

"Bukan insiden kecil kalau ada orang lain yang lihat. Reputasi kamu taruhannya."

"Papa, ih! Masalah kecil degedein, deh. Lagian ... emangnya sesalah apa sih, minta tolong Aiai? Minta tolong lho, Pa. Bukan nyuruh. Papa ribet, deh."

"Nama kepala bagian IT itu Aiden, bukan Aiai, dan Papa bukannya sedang membuat masalah jadi ribet seperti kata kamu. Papa hanya ingin kamu mampu menghormati struktur organisasi. Apa itu sulit?"

Jodoh Untuk Monik (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang