BAGIAN 5

501 23 0
                                    

Rangga berdiri tegak memandangi Bukit Hantu yang berdiri angkuh dan tampak angker. Begitu sunyi di sekelilingnya, tanpa ada seorang pun terlihat. Bahkan suara yang terdengar pun hanya desir angin saja yang mempermainkan dedaunan di sekitar Pendekar Rajawali Sakti berdiri. Entah sudah berapa lama Rangga berada di sana.
Sedangkan saat ini, matahari sudah tepat berada di atas kepalanya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming sedikit pun, seakan-akan tidak peduli terhadap panasnya sengatan sang mentari yang bagai hendak membakar semua yang ada di atas permukaan bumi ini.
"Dewi Mata Hijau. Hm... Siapa dia sebenarnya...?" gumam Rangga, berbicara pada diri sendiri.
Begitu pelan suaranya, sehingga langsung menghilang terbawa angin yang bertiup agak kencang siang ini. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih diam mematung, memandangi puncak Bukit Hantu ini. Kemudian, kakinya terayun perlahan ke depan. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja...
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Jleb!
Cepat sekali Rangga melompat ke belakang, ketika tiba-tiba saja sebatang tombak meluncur deras ke arahnya dari depan. Tombak itu menancap di tanah, tepat di ujung jari kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali Rangga dikejutkan oleh munculnya dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap dari batik semak belukar. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang berukuran panjang.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
"Belum waktunya kau datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
"Aku ingin bertemu pemimpinmu," kata Rangga, tidak kalah tegasnya.
"Tunggu saja dua hari lagi," sahut seorang lagi yang mengenakan baju warna biru tua.
"Hm, lalu siapa kalian ini?" tanya Rangga.
"Aku Tombak Merah. Dan ini, Tombak Biru. Kami adalah Iblis Tombak Kembar," sahut laki-laki berbaju merah memperkenalkan diri.
Saat itu, Rangga baru menyadari kalau wajah kedua orang ini memang mirip. Hanya pakaiannya saja yang berbeda. Sedangkan bentuk tubuh dan tingginya sama persis. Wajah mereka hampir tidak bisa dibedakan lagi. Hanya saja, yang berbaju merah berwajah garang. Sedangkan yang berbaju biru tua kelihatan pucat, seperti mayat. Tombak mereka juga sama persis, baik bentuk maupun ukurannya.
"Kenapa kalian mencegahku? Sedangkan pemimpin kalian ingin bertemu denganku cepat-cepat. Bahkan sampai mengirim utusan untuk menjemputku," kata Rangga, tetap terdengar tegas nada suaranya.
"Pemimpin kami tidak pernah mengirim utusan untuk menjemputmu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau memang ditunggu di sini, tapi dua hari lagi baru bisa datang," sahut si Tombak Merah, tidak kalah tegasnya.
Sedangkan dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun berwajah kembar ini mengatakan, pemimpinnya tidak pernah mengirim seorang utusan pun untuk menjemputnya. Saat itu juga, Rangga merasakan adanya sesuatu yang ganjil. Langsung bisa diduganya kalau ada dua kelompok atau lebih yang menginginkan kematiannya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti. Baru purnama nanti kau bisa datang lagi ke sini," kata si Tombak Biru, mengusir Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Rasanya memang tidak ada gunanya terus mendesak. Terlebih lagi, saat ini sebuah teka-teki masih belum jelas terungkap. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, darimana lagi harus memulai. Tapi yang jelas, ada beberapa orang yang menghendaki kematiannya.
Dan dugaan itu sangat diyakininya saat ini. Hanya saja, Rangga tidak tahu, siapa orang-orang yang menginginkan kematiannya sekarang ini. Rasanya, juga sulit bila menduga satu persatu bekas lawan-lawannya yang masih tetap hidup sampai sekarang ini. Dan dia tidak tahu, siapa di antara sekian banyak yang mendalangi semua ini.
"Baik. Aku akan kembali nanti saat bulan purnama," kata Rangga mengalah.
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya. Dewa Bayu memang ditinggalkan di bawah pohon beringin yang cukup rimbun, sehingga melindunginya dari sengatan sinar matahari. Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa Bayu
"Hiyaaa...!" Sekali gebah saja, Dewa Bayu langsung melesat pergi begitu cepat.
Sementara, si Iblis Tombak Kembar masih terus berdiri tegak memandangi, sampai Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.

***

"Hooop...!"
"Hieeegkh...!"
Tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Sehingga, membuat kuda hitam tegap itu meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Maka seketika Dewa Bayu berhenti berlari. Dan saat itu, Rangga melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah.
Tatapan mata pemuda berbaju rompi putih itu langsung tertuju pada seorang perempuan tua bertubuh agak bungkuk. Dia berdiri dengan sikap menghadang di tengah jalan tanah berdebu ini. Pakaiannya yang panjang dan longgar berwarna kuning gading, tedihat berkibar dipermainkan angin. Sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya tampak tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya begitu tajam, menentang tatapan mata Rangga yang memang sangat tajam menusuk.
"Bocah sombong! Kemari kau..!" bentak perempuan tua itu mendengus kasar.
"Heh...?!" Rangga jadi terkejut mendengar bentakan bernada kasar itu.
"Ke sini kataku!" bentak perempuan tua itu lagi.
"Maaf. Aku tidak mengenalmu, Nisanak. Siapa kau ini, dan mengapa menghadang jalanku...?" Rangga mencoba bersikap ramah, walaupun perempuan tua itu kelihatan garang sekali.
"Aku Nek Srinita yang akan mengajarmu untuk berlaku sopan santun pada orang tua, Bocah Sombong!" sahut perempuan tua itu, masih tetap terdengar kasar nada suaranya.
"Heh...?! Ada apa ini...?"
Rangga benar-benar terkejut dan tidak mengerti atas sikap dan kata-kata perempuan tua yang tadi mengaku bernama Nek Srinita. Dan lagi, Rangga merasa belum pernah mengenalnya. Sedangkan perempuan tua bertubuh agak bungkuk itu seperti sudah mengenalnya begitu lama, Seakan-akan, dia sudah tahu tentang Pendekar Rajawali Sakti sejak kecil.
"Kau seorang raja, juga seorang pendekar. Seharusnya, kau bisa memberi contoh yang baik bagi semua rakyatmu. Tapi, kau malah tidak sudi menghormati orang tua sepertiku. Malah panggilanku kau anggap remeh. Padahal, bukan hanya kau saja yang terancam kehancuran. Tapi seluruh rakyat Karang Setra terancam penderitaan seumur hidup. Huh! Kau benar-benar tidak pantas menjadi raja, Rangga!" masih terdengar kasar nada suara Nek Srinita.
"Kau memanggilku...?" Rangga jadi terlongong-longong.
Seketika itu juga, dia teringat dengan si Setan Hijau Pisau Terbang. Juga, gadis cantik yang kini meringkuk di dalam penjara Karang Setra. Mereka datang menemuinya, karena mendapat perintah dari pemimpinnya untuk membawanya menghadap. Saat itu juga, Rangga menduga kalau perempuan tua inilah pemimpin mereka. Tapi, apakah perempuan tua ini yang berjuluk Dewi Mata Hijau...?
"Nisanak. Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu ini. Apa maksudmu sebenarnya...?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Kau kenal mereka, Rangga?"
Saat itu, dari balik semak dan pepohonan muncul sekitar tiga puluh orang yang semuanya menyandang golok terselip di pinggang. Dan salah seorang dari mereka adalah si Setan Hijau Pisau Terbang. Laki-laki yang mengenakan baju serba hijau itu menghampiri Nek Srinita, kemudian berdiri di samping kanannya. Tentu saja Rangga mengenali, karena mereka pernah mengeroyoknya di kedai dekat perbatasan Kotaraja Karang Setra.
"Dan yang seorang lagi, adalah orang yang kau tawan di kamar tahananmu, Rangga. Kau benar-benar tidak mengenal adat dan tata krama!" sambung Nek Srinita bernada geram.
"Oh..., jadi mereka semua orang-orangmu, Nisanak...?" desis Rangga, jadi agak sinis nada suaranya.
"Mereka semua muridku. Dan kau sama sekali tidak menghormati mereka. Itu sama saja tidak menghormatiku, Rangga. Huh...! Tidak kusangka, putra Arya Permadi yang kuhormati ternyata pemuda liar yang tidak mengenal sopan santun dan tata krama."
"Eh, tunggu dulu...!" sentak Rangga merasa tersinggung. "Apa maksudmu sebenarnya, Nisanak? Mengapa kau marah-marah padaku...?"
Rangga benar-benar tidak mengerti. Makanya perempuan tua itu diminta untuk menjelaskannya. Dia juga terkejut, karena perempuan tua yang tidak pernah dikenalnya ini tahu semua tentang dirinya. Bahkan tahu nama mendiang ayahnya. Dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan tua yang mengaku bernama Nek Srinita ini...? Dia seperti tahu betul tentang keadaan Kerajaan Karang Setra daripada rajanya sendiri.
"Aku adalah ibu suri ayahmu, Rangga. Aku tahu betul tentang dirimu. Juga orang tuamu. Seluruh tanah Karang Setra ini berada di dalam genggamanku. Tapi, selama ini aku tidak pernah ingin ikut campur, selama kau bisa mempertahankannya melalui orang-orang kepercayaanmu, dan kedua adik tirimu. Tapi sekarang..., aku terpaksa keluar dari pertapaan. Karena, kejayaan Karang Setra tengah terancam. Dan kau sendiri sepertinya tidak tahu keadaan kerajaanmu. Kau terlalu sibuk mengembara, hingga melalaikan tugasmu sebagai raja. Nah! Sekarang kau sudah jelas tentang diriku, Rangga...?"
Saat itu juga Rangga tidak bisa berkata-kata. Mulutnya ternganga, dan matanya terbuka lebar. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua ini adalah ibu suri ayahnya. Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri berlutut "Ampunkan aku, Nek. Aku sama sekali tidak tahu kalau kau...."
"Sudahlah, Rangga. Bangunlah. Tidak pantas kau bersikap begitu padaku. Kau seorang raja sekarang. Dan kau juga seorang pendekar digdaya pilih tanding. Bangunlah...," ujar Nek Srinita memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga baru bangkit berdiri setelah pundaknya disentuh lembut. Kini, tidak lagi terlihat kegarangan di wajah dan sorot mata perempuan tua berjubah kuning gading ini. Bahkan yang ada sekarang adalah kelembutan seorang wanita tua. Cepat-cepat Rangga menjura, membungkukkan tubuhnya untuk memberi penghormatan. Nek Srinita tersenyum melihat sikap penghormatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo ikut ke pertapaanku, Rangga," ajak Nek Srinita. "Banyak yang harus kita bicarakan."
"Tapi, Nek..."
"Ada apa lagi?! Kau akan menolak undanganku ini...?!" sentak Nek Srinita kembali mendelik matanya.
"Bukan..., bukan itu maksudku. Aku harus membebaskan Nini Ratih. Bukankah dia juga muridmu, Nek...?" ujar Rangga cepat-cepat.
"Kau bisa melakukannya nanti. Sekarang ada urusan yang lebih penting dari pada mengurus Ratih," dengus Nek Srinita.
"Ke mana kau akan membawaku, Nek?" tanya Rangga sambil mengambil tali kekang kudanya.
"Ke Pertapaan Gonggong," sahut Nek Srinita.
"Di mana itu?" "Sebelah Timur lereng Bukit Hantu."
Rangga tidak bertanya lagi, lalu melangkah mengikuti Nek Srinita yang sudah lebih dulu berjalan. Pendekar Rajawali Sakti mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan perempuan tua ini. Sedangkan Setan Hijau Pisau Terbang dan murid-murid Nek Srinita lainnya mengikuti di belakang. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka terus berjalan mengikuti perempuan tua berjubah kuning gading ini.

75. Pendekar Rajawali Sakti : Kabut Hitam Di Karang SetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang