BAGIAN 1

854 24 0
                                    

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas bukit. Sebatang pedang bergagang kepala burung rajawali tampak tersampir di balik badannya yang kekar. Pandangannya tertuju lurus, tanpa berkedip ke arah Kotaraja Karang Setra. Beberapa kali dihirupnya udara dalam-dalam, seakan-akan ingin merasakan nikmatnya harum tanah kelahirannya ini.
Sementara tidak jauh, terlihat seorang gadis cantik berpakaian biru tengah duduk mencangkung di atas batu. Tangannya yang halus mungil melempar-lemparkan batu kerikil ke bawah bukit. Sesekali diliriknya pemuda yang tengah memandangi kota kelahirannya dari atas bukit ini.
"Setiap kali memandang Karang Setra, aku merasa seperti baru dilahirkan kembali, Pandan," desah pemuda itu menggumam perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Kau beruntung, Kakang. Masih punya tanah kelahiran," kata gadis yang dipanggil Pandan. Dan memang, dia adalah Pandan Wangi. Sementara pemuda tampan itu tak lain dari Rangga. "Sedangkan aku..., tidak ada lagi yang tersisa di dalam hidupku."
Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya sedikit. Dipandanginya gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk mencangkung di atas batu. Batu-batu kerikil di tangannya sudah habis dilemparkan. Sedikit matanya melirik pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih itu.
"Kau memiliki kekayaan yang tidak ternilai, Pandan," hibur Rangga.
"Hhh! Tidak ada yang berharga pada diriku, Kakang. Aku hanya anak kolong, yang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu, ke mana arah hidupku nanti," terdengar agak sinis nada suara Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri gadis ini. Kini, dia berdiri dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Lembut sekali Pendekar Rajawali Sakti mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jari tangannya. Sehingga membuat wajah Pandan Wangi terpaksa menengadah ke atas. Mau tak mau, mata mereka langsung bertemu.
"Semua orang memiliki masa lalu dan arah tujuan hidup yang berbeda. Aku pun demikian, Pandan. Aku juga tidak tahu, ke mana hidupku ini akan kubawa. Hanya Sang Hyang Widi yang tahu," tegas Rangga, namun lembut.
Pandan Wangi hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan dia bangkit berdiri, dan melangkah menjauh beberapa tindak. Sementara, Rangga tetap diam sambil memandangi gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu.
"Berapa lama lagi kita akan berada di Karang Setra, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama berdiam diri.
Gadis itu masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kota yang kelihatan tenang dan damai, di bawah kaki bukit ini. Sedikit pun wajahnya tidak berpaling pada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri, dan berdiri di samping kanannya. Pandangannya juga diarahkan ke arah yang sama dengan si Kipat Maut.
"Aku tidak bisa menentukannya sekarang," sahut Rangga. "Kenapa kau tanyakan itu, Pandan?"
"Aku hanya ingin tahu saja," sahut Pandan Wangi, seenaknya.
"Sudah lama sekali kita tidak pulang. Tentu sudah banyak perubahan yang terjadi," gumam Rangga, seperti bicara pada diri sendiri. Dan tentu saja untuk mengalihkan pembicaraan yang dirasakan kurang enak ini.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja. Bibirnya mengukir sebuah senyum kecil yang terasa begitu hambar. Rangga segera melingkarkan tangannya ke pundak gadis ini. Seketika, kemanjaan Pandan Wangi timbul. Segera kepalanya direbahkan di dada yang bidang dan tegap itu. Kembali mereka terdiam, memandang ke arah Kotaraja Karang Setra dari ketinggian di atas bukit ini.
"Bagaimana, Pandan...? Kita ke Karang Setra, atau ke tempat lain?" Rangga meminta pendapat.
"Kau pasti sudah rindu pada kedua adikmu, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Ya! Aku memang sudah rindu sekali," desah Rangga perlahan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin ke sana dulu, Kakang. Tapi, aku juga rindu pada Cempaka, dan Danupaksi. Serta semua orang yang ada di istana," kata Pandan Wangi berterus terang.
Rangga tersenyum, dan semakin mengetatkan rangkulannya pada pundak si Kipas Maut ini. Tapi, Pandan Wangi malah melepaskan rangkulan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan berdirinya bergeser ke samping beberapa langkah, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita turun, Kakang," ajak Pandan Wangi.
Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis cantik itu segera melangkah menuruni bukit ini. Rangga bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pandan Wangi. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi, menuruni bukit yang tidak begitu terjal ini. Sepasang pendekar muda itu terus melangkah hingga sampai di jalan setapak, dan menuju gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra.

75. Pendekar Rajawali Sakti : Kabut Hitam Di Karang SetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang