Rahma duduk termenung di teras rumah bibinya. Sudah ada satu minggu lebih ibunya tidak memberi kabar atau menanyakan kabarnya seperti biasa. Saat Rahma telepon pun tidak diangkat. Apa ibunya masih marah? Itulah yang dipikirkan Rahma.
Rahma sering menghubungi adik-adiknya untuk menanyakan kabar ibu dan bapak, mereka bilang, kalau orang tuanya baik-baik saja. Saat Rahma bertanya adakah ibu atau bapaknya menyinggung tentang Rahma, mereka jawab tidak. Rahma merasa tak tenang di sini.
Lamunan Rahma terpecah begitu merasakan tepukan di bahunya. Dia menoleh, ternyata bibinya. "Cah wadon, ora apik ngelamon pas surop-surop, mlebu kono, Maghriban," kata bibi Rahma-Yanti. (Anak perempuan, tidak baik melamun sore-sore, masuk sana, salat Magrib).
Rahma menurut. Ia masuk ke dalam rumah lalu melaksanakan ibadah salat Magrib. Setelah melakukan kewajibannya Rahma berjalan ke arah ruang tengah, di mana bibinya berada dan sedang menonton acara kesukaannya, sinetron, apalagi.
Rahma duduk di sebelah bibinya. "Paklek dereng mantok, Bulek?" tanya Rahma. (Paklek, belum pulang, Bulek?) Yanti menggeleng sebagai jawabannya. Rahma menyandarkan punggungnya di sofa dengan pandangan lurus ke depan.
Percakapannya dengan Rere dan Yussy beberapa hari yang lalu, sungguh mengusik kepala. Benarkah, dia mencintai Ragil?
"Sekarang, gue tanya sama lu, deh, kalau lu ketemu sama kak Ragil, senang enggak perasaan lu? Deg-degan enggak" tanya Rere.
Rahma diam dan mengingat-ingat lagi lalu mengangguk. Ya memang itu yang dia rasakan, setiap berada di dekat Ragil.
"Terus, kalau lu enggak dikabari sama kak Ragil, atau enggak di-chat sama kak Ragil, suka kangen enggak? Atau seenggaknya lu kepikiran enggak kenapa dia enggak chat atau kasih kabar?" tanya Rere lagi. Rahma langsung mengangguk, dengan cepat.
"Terus, ini yang penting, kamu pernah enggak, Ma, marah atau kesal, waktu lihat kak Ragil jalan atau dekat sama cewek lain?" tanya Yussy dengan senyuman miring.
Rahma terdiam. Dia merasakan itu beberapa bulan yang lalu. Saat itu, dia melihat Ragil masuk ke toko roti tempat dia bekerja dengan seorang perempuan. Dia tidak tahu siapa perempuan itu, tapi melihat Ragil terlihat akrab dan bisa tertawa dengan perempuan itu membuat dia merasa kesal, marah dan ada rasa sakit yang merayapi hatinya, membuat mood-nya buruk seketika.
"Pe-pernah," ucap Rahma dengan lirih.
Rere menepuk kedua tangannya dengan cukup keras. "Itu tandanya, lu, cinta, love, tresno, sama kak Ragil, Ma," kata Rere antusias. Yussy mengangguk setuju. Sementara, Rahma, dia terdiam di tempat.
"Benarkah? Dia mencintai Ragil? Laki-laki yang dulu sempat dia sukai, dan selama ini dia anggap sebagai teman, saja?" pikir Rahma.
"Rahma!" Tepukan di pipi dan panggilan keras Yanti mengembalikan Rahma dari lamunannya.
"Eh, apa, Bulek?" tanya Rahma.
"Kamu suka?" tanya Yanti.
"Iya, Rahma suka Ragil, Bulek, Eh-"
Rahma segera menutup mulutnya rapat-rapat. Yanti tertawa kencang mendengar perkataan Rahma. "Oalah, dari tadi itu lagi kepikiran Ragil, toh, pantas diajak omong dari tadi enggak ada sahutan," kata Yanti lalu tertawa lagi.
Rahma yang malu pun, beranjak ke kamar, dengan wajah merah merona, seperti tomat busuk. Ia menutup pintu kamarnya lalu menyandarkan punggungnya di daun pintu. Kedua tangannya dia letakkan di atas dadanya yang sedang berdegup kencang.
Bayang-bayang seorang Ragil, tiba-tiba hinggap di kepalanya. Rahma menggelengkan kepalanya, berharap bayangan itu hilang. "Ya Allah, apa benar, aku suka sama Ragil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Wisuda
RomanceSiapa di dunia ini yang tidak ingin menikah? Tentunya semua orang ingin menikah dan membangun keluarga dengan orang yang mereka cintai, bukan? Begitu pun dengan Rahma. Teror orang tuanya yang awalnya menyuruh Rahma cepat-cepat menikah kini berganti...