Rahma berjalan memasuki area kampusnya dengan langkah santai. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya menunjuk pada pukul 09.30. Hari ini, Rahma ada jadwal bertemu dengan dosen pembimbingnya, pak Adnan, jam sepuluh nanti, masih ada tiga puluh menit lagi sebelum dia bertemu dengan dosennya itu. Rahma memanfaatkan waktu itu untuk membaca dan memeriksa kembali proposal yang akan dia berikan kepada sang dosen nanti.
Rahma duduk di salah satu kursi panjang yang berada tak jauh dari ruangan dosen pembimbingnya. Baru Rahma akan membuka proposal skripsinya, ponsel Rahma sudah berdering. Rahma mengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan memeriksa siapa yang meneleponnya. Nama 'Ibu' tertera di layar benda pipih tersebut, segera Rahma menerima panggilan dari ibunya itu.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Rahma pada ibunya yang sedang melakukan panggilan rutin kepadanya. Setiap satu minggu sekali, pasti ibunya menelepon, dan itu sudah dilakukan hampir selama tujuh tahun ini.
"Waalaikumsalam, Nduk. Piye kabarmu? Sehat, toh?" (Waalaikumsalam, Nduk. Bagaimana kabarmu? Sehat, kan?) tanya sang ibu.
"Alhamdulillah, Bu. Ibu kale bapak yok nopo kabare?" (Alhamdulillah, Bu. Ibu sama bapak bagaimana kabarnya?)
"Alhamdulillah, apik, Nduk." (Alhamdulillah, baik, Nduk.)
"Alhamdulillah, Bu."
"Nduk, kamu balik kapan, toh?" (Nduk, kamu pulang kapan, toh?)
Rahma terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya yang satu ini. Bukan karena Rahma tidak mau pulang ke rumah atau bertemu dengan kedua orang tuanya. Tapi masalahnya ...
"Umurmu wes telu likur taon, lo. Misananmu wae wes nikah, awakmu kapan? Umurmu luweh tuwo lo tekan misananmu iku. Balik, yo? Muleh yo, Nduk? Bapak karo ibu wes nemu jodoh seng cocok gae awakmu, muleh, yo?" (Umur kamu sudah 23 tahun, lo. Sepupumu saja sudah menikah, kamu kapan? Umurmu lebih tua lo dari sepupumu itu. Pulang, ya? Pulang, ya, Nduk? Bapak sama ibu sudah menemukan jodoh yang cocok untuk kamu, pulang ya?)
Inilah yang membuat Rahma tidak bisa menjawab perihal kepulangannya. Perjodohan. Bukannya Rahma tidak mau menikah atau di jodohkan, hanya saja dia berpikir, usahanya selama ini untuk menyelesaikan pendidikan tinggi akan sia-sia begitu saja jika dia pulang.
"Bu, sabar, nggeh, ngerantos Rahma rampungaken skripsi kale yudisium Rahma, nggeh, manton ngonten Rahma mantok. Rahma puron ibu jodohaken kale sinten mawon, tapi ngerantos Rahma rampungaken sekolah riyen. Ibu lak ngertos, wekasane eyang kakung, Rahma dikengken sarjana." (Bu, sabar, ya, tunggu Rahma seselaikan skripsi dan yudisium Rahma, ya, setelah itu Rahma pulang. Rahma mau ibu jodohkan dengan siapa saja, tapi tunggu Rahma selesaikan sekolah dulu. Ibu, kan, tahu, pesan eyang kakung, Rahma disuruh sarjana.) Tidak ada sahutan dari ibunya.
"Ibu, Rahma nyuwun sanget, nggeh?" (Ibu, Rahma mohon, ya?)
Hartina—ibu Rahma—menghela napasnya. "Jawabanmu ket biyen, yo pancet. Sampek saiki, awakmu yo ora mari-mari sekolahe. Ibu ambek bapak iki wes tuwo, Nduk, wes pengen gendong putu, awakmu iku, anak e Ibu seng barep, nek ora awakmu, terus sopo seng iso ngewehi Ibu putu, mosok yo adekmu iku?" (Jawaban kamu dari dulu, sama. Sampai sekarang, kamu juga tidak selesai-selesai sekolahnya. Ibu sama bapak ini sudah tua, Nduk, sudah ingin gendong cucu, kamu itu, anak sulung Ibu, kalau bukan kamu, terus siapa yang bisa berikan Ibu cucu, masa adikmu?) Rahma menyadari keinginan orang tuanya itu, tapi mau bagaimana lagi, dia sudah berjanji kepada mendiang kakeknya, kalau dia akan menyelesaikan kuliahnya baru menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Wisuda
RomanceSiapa di dunia ini yang tidak ingin menikah? Tentunya semua orang ingin menikah dan membangun keluarga dengan orang yang mereka cintai, bukan? Begitu pun dengan Rahma. Teror orang tuanya yang awalnya menyuruh Rahma cepat-cepat menikah kini berganti...