"Kau tahu, jika rasa ini dicipta untuk merasakan apa itu arti jatuh cinta?. Kau pun harus tahu, jika rasa ini mulai peka terhadap sentuhan-sentuhan rasa yang lain."
Seperti biasanya dan karena hari ini hari minggu,pagi ini aku harus pergi ke sawah membantu bapak bekerja di sawah. Aku pergi dengan sepeda yang aku kayuh ditemani sebuah rantang yang berisi makanan yang aku gantungkan pada setir sepeda.
Aku mulai membantu bapak dengan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar lahan bapak tersebut. Sebenarnya sudah seminggu ini aku dan bapak tidak berkunjung ke sawah ini, bapak hanya pergi ke sawah juragannya. Rumput-rumput liar itu mudah tumbuh, sampai-sampai aku kuwalahan untuk membersihkannya.
Kulihat wajah bapak dengan tajam, tersirat seberkas kesedihan di wajahnya. Entah apa yang sedang terjadi padanya. Hubungan batin antara anak dan orangtua memang sangatlah kuat-aku merasa jika Mas Aryo-kakakku itu sedang berulah lagi. Kulit bapak yang keriput semakin terlihat begitu jelas, mungkin karena terlalu memikirkan sikap anaknya.
Hatiku kembali bergumam 'Aku harus berbeda dengan Mas Aryo. Jika ia telah menyayat hati bapak, maka aku harus menjadi pengobat sayatan lukanya'.
Semangat begitu membara di jiwa, ketika melihat keadaan keluarga yang seperti ini.
"Bapak pulang dulu, nanti jika semua selesai, rapikan, dan segera pulang!" Suruh bapak dengan beranjak dari posisi duduknya.
Suasana jingga mulai menaungi kampungku, aku bergegas untuk pulang.
***
Tak seperti biasanya, suasana rumah begitu sangat sunyi. Aku yang saat itu baru pulang mengaji, tidak tau-menau keberadaan ibu dan bapak. Aku memilih untuk berdiam diri di rumah, duduk santai dibangku-teras rumah. Pikiranku masih diselimuti oleh perasaan yang tidak enak tentang Mas Aryo, di tambah lagi bapak dan ibu yang sekarang tiba-tiba saja meninggalkan rumah tanpa dikunci.
Aku takut bapak dan ibu dipanggil oleh pihak berwajib, aku takut kedua orangtuaku terutama bapak terseret-seret dalam masalah ini. Hpku yang saat itu aku genggam, aku mulai bercerita kepada Widya melalui chat perihal perasaan yang aku alami saat ini. Aku ketikkan kata demi kata yang ada di pikiranku, aku berharap Widya bisa menenangkan aku malam ini.
Aku dibuat tenang oleh jawaban Widya meskipun melalui sms, sehingga perasaan tak enak perlahan sirna. Karena terlalu lama aku menunggu kedua orangtuaku yang tak kunjung datang, aku memutuskan untuk tidur karena hari sudah mulai larut. Aku tertidur di atas kasur lantai yang tidak begitu empuk dengan sangat nyaman, entah karena kelelahan atau karena jawaban Widya yang begitu menenangkan.
Suara dobrakan tiba-tiba saja menggangguku dan membuyarkan bunga-bunga tidurku. Aku kemudian terbangun dari tidurku, namun aku masih menyelidiki dari mana sumber suara tersebut.
"Rasanya aku gagal dalam mendidik anak, pak. Aku gagal jadi orangtua, aku sangat bodoh." Aku dengar suara ibu dengan nada yang cukup tinggi, diiringi dengan isak tangis yang membuatnya tersedu-sedu.
"Tapi mau bagaimana lagi, Bu. Ini sudah digariskan oleh gusti allah, kita sekarang harus berhati-hati lagi dalam mendidik anak, sekarang hanya Bayu lah yang menjadi harapan kita." Suara bapak terdengar begitu lirih, namun terdengar jelas di telingaku.
"Tapi pak, apa kata orang sekitar nantinya. Keluarga kita selalu dicap kiri oleh tetangga." Ujar ibu.
Mendengar hal itu, aku beranjak dari tempat tidurku dan menghampiri bapak ibu yang ada di dapur. Sebenarnya aku tak ingin tau-menau tentang masalah ini, namun bagaimana lagi perasaan tak tenang kembali lagi menghantuiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Rasa (SUDAH)
Teen FictionPersahabatan bisa tiba-tiba hancur karena cinta. Seorang lelaki culun bernama Bayu Baskara yang mulai menaruh hati pada gadis bernama Widya Anggraini. Gadis itu merupakan seorang yang menjadi dambaan bagi setiap laki-laki seantero sekolah. Meski Ba...