Dua Puluh Satu

6 2 4
                                    

"Kuncinya, berpikir positif dan jangan over protektif, Sayang."

Pembicaraan dua hari yang lalu tetap menggantung di pikiran. Tetap bersinggasana pada hati yang hampir hampa. Manusia sebenarnya mempunyai kelebihan untuk melebih-lebihkan, apalagi ketika kekhawatiran menggerus jiwanya, aku yakin pasti semua manusia akan berlebihan; untuk berpikir dan bersikap. Pada intinya, sikap berlebihan ini memang tidak baik jika digunakan terus-menerus, tapi akan tidak lebih baik pula jika tidak digunakan sama sekali, apalagi pada seseorang yang memang melekat dalam hatinya.

***

"Sudah lama lo nggak pernah memberikan kabar, Bay."

Rayhan, sahabat kami yang sudah beberapa tahun ini sekolah ke luar kota. Ia tiba-tiba datang dan memosisikan diri duduk di ruang tamuku. Kaget sekaligus takjub, perawakannya yang semakin berbeda dimakan oleh usia, menambah aura dewasa di wajahnya. "Iya, nomer lo hilang. Tumben ujug-ujug pulang, kenapa?"

"Nggak ada, sih, sebenarnya. Sekolah di sana lagi libur dua pekan."

Kenangan yang paling dirindukan jika berbicara tentang sahabat adalah kenangan ketika bersama. Apalagi hampir setengah dekade ini kami jarang bahkan tidak pernah berkumpul, karena ulah jarak dan waktu. Semuanya tak akan bisa dibeli dengan uang, selain menggunakan kesempatan ini untuk berkumpul kembali, entah untuk membicarakan kenangan kecil kami yang sangat absurd, bertukar kisah pengalamannya, atau hanya ingin bersemuka dan menebak-nebak, siapa ya, yang akan menikah duluan?. Mungkin itu satu-satunya cara, untuk membayar kerinduan dari seorang Rayhan.

"Ayo ke mana gitu, kita jalan-jalan."

"Ke mana?"

"Terserah, enaknya di mana. Ajak semuanya, biar rame."

"Se-kampung?"

"Se-kabupaten kalo bisa. Ya, semua personel kita, Lah. Rey, Ani, Angga juga."

Mampus. Tebakan ku benar. Ia tak akan mampu menyembunyikan rasa rindunya, pun aku juga tak akan mampu jika untuk menolaknya. Arah pikiranku berada di persimpangan, antara menuruti kemauan Rayhan atau menuruti kemauan sendiri. Tapi, aku tidak bisa tiba-tiba menolak kepentingan persahabatan hanya karena ingin meredam percikan api cinta yang terjadi antara aku dan Angga.

***

Dua jam kemudian setelah aku menghubungi semua anggota. Deru mesin motor matik terdengar dan berhenti di depan rumahku. Rey dan Ani datang dengan pakaian dan dandanan yang sudah ia siapkan dua jam sebelumnya.

"Rayhan ke mana?" tanya Rey.

"Pulang sebentar, katanya."

"Angga ke mana?" tanyanya lagi.

"Oh iya, barusan bilang, dia nggak bisa bareng kita berangkatnya, ada urusan. Tapi, ia bakal nyusul kita, katanya." Jawab Ani sembari menatapi layar ponselnya. "Ini dia tanya lagi, katanya ketemu di mana?"

Tak ada yang menjawab, karena ini memang tak teragendakan. Aku mengangkat kedua bahuku, "Enggak tahu, apa kata nanti, deh."

***

Kami berangkat menggunakan dua motor dan berboncengan. Aku dengan Rayhan, Rey dengan Ani. Sampai saat ini, kami belum menemukan tujuan atau tempat yang cocok untuk berbincang. Kami terus menyusuri jalan raya. Di sebuah pertigaan, mataku tertambat pada sebuah kafe unik, di atasnya berplakat "Black Cafe". Entah karena aku menyukai warna hitam atau apa, tiba-tiba kafe tersebut seakan melambai agar kami berhenti dan mampir di sana. Aku menepuk-nepuk pundak Rayhan, "Ke sana aja, daripada muter-muter nggak tentu arah."

Selaksa Rasa (SUDAH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang