Dua Puluh Empat

10 2 14
                                    

Kabar-kabar tentang hubungan Widya dan Angga, masih terus menghiasi telingaku, tak sedikit dari mereka yang mengadukan padaku, entah ingin memprovokasiku atau mereka mengasihaniku.

Namun, tak sedikit juga teman-teman, yang malah mendukungku. Dan aku takut, apa yang dilakukan oleh mereka yang mendukungku berakibat pada kekacauan. Karena, mereka setiap kali mendengar ceritaku ini, seakan mereka adalah aku, dan mereka akan mengatai, mencemooh, bahkan memperlakukan Angga seolah musuhnya, padahal Angga tidak pernah sekali pun mempunyai masalah dengannya.

Dari depan kelasku, aku melihat mereka berdua sedang duduk berdampingan di depan kelas Angga. Dengan berpura-pura memainkan ponsel yang tengah aku genggam, tak bisa disembunyikan mataku tetap penasaran melihat mereka dengan awas. Setiap kali, teman-teman Angga lewat di sampingnya, aku mendengar ada saja kalimat-kalimat yang mereka lontarkan.

"Dasar nggak tahu malu, sudah tahu pacarnya sendiri, eh malah diembat," ujar seorang cewek yang tengah berjalan di sampingnya.

Angga hanya menatapnya dengan sinis, kemudian ia mengalihkan pandangannya pada ponsel yang sedang dipegang Widya. Melihat kejadian tersebut, terbesit rasa bersalah di benakku. Aku salah mengambil langkah, aku takut ini akan membawaku pada sebuah kekacauan, ujarku di dalam hati. Trauma terus menghantuiku, ketakutan seperti terus-menerus mengincarku.

***

Libur sekolah. Kegiatanku hanya menjaga bapak yang masih harus istirahat, dan sebagai penggantinya, ibuku yang harus pergi ke sawah. Kuisi gelas kosong itu dengan air hangat, dan aku berikan pada bapak yang ada di kamar.

"Ini diminum dulu, Pak. Nanti makannya saya ambilkan," ujarku sembari memberikan gelas tersebut pada bapak.

"Nggak usah makan, bapak kenyang."

"Kalo nggak makan, terus nggak boleh minum obat, Pak. Kalo nggak minum obat, bapak nggak akan sembuh. Kalo nggak sembuh, siapa yang biayain Bayu sekolah, Pak?"

Mendengar penjelasanku, entah mungkin hati bapak tersentuh. Ia menghela napas setelah meneguk air hangat tersebut beberapa tegukan. "Iya, Nak. Yawes buatkan bapak bubur aja."

Aku segera pergi ke dapur untuk membuatkan bapak bubur ayam yang telah diolah oleh ibu, aku mengambil beberapa sendok bubur tersebut. Aku suapi bapakku, kulihat wajahnya yang semakin tua, membuatku semakin kasihan saat melihat kondisinya seperti ini. pikiran-pikiran tentang percintaan seakan sirna, yang ada di pikiranku saat ini adalah, bagaimana aku bisa sukses dan membanggakan seorang bapak yang telah memelihara ku sampai sebesar ini.

Di tengah-tengah aku menyuapi bapakku, suara ketukan pintu memecah keheningan.

Tokkk ... tokkk ... tokkk ....

Aku menaruh sisa bubur yang masih belum aku suapkan pada bapak itu. "Sebentar, Pak." Aku beranjak meninggalkan bapak di kamar, dan berjalan menuju sumber suara. Aku buka kenop pintu, pintu terbuka setengah. Mataku terbelalak sempurna ketika melihat siapa yang datang di balik pintu tersebut.

"Silakan masuk," ujarku.

"Sebentar aku mau melanjutkan menyuapi bapakku, lima menit aja," pintaku.

Aku kembali menuju ruang tamu, setelah menyuapi bapak. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia utarakan saat ini. dan aku semakin penasaran. "Tumben ke sini, ada apa?" tanyaku sedikit menyindir.

Lelaki yang saat ini menjadi perbicangan hangat di sekolah itu, kini menundukkan kepalanya. Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya, pada hubungannya, tentu saja. "Aku minta maaf, Bay."

Kalimat sakral, yang aku kira mustahil akan ia ucapkan itu, sekarang secara terang-terangan ia utarakan di depanku. Aku mematung di tempat, tak percaya jika hal mustahil ini benar-benar terjadi. Aku mencubit pahaku, sakit.

"Em ... i, iyaa. Aku sudah maafin lo," jawabku terbata-bata.

Ia saat ini berani menatap wajahku. "Aku pikir, lo nggak akan maafin gue. Gue sekarang sadar, dan tahu betul, jika apa yang gue lakuin itu merupakan kesalahan besar."

Aku mengangkat alisku sebelah, masih tidak percaya jika hal ini terjadi dan benar-benar nyata. Aku semakin penasaran, apa yang sedang terjadi pada Angga. "Lo ... em, kenapa? Ada apa, dengan hubungan lo dengan Widya?" tanyaku penasaran.

"Em ... ya, gue sadar aja, Bay. Jika apa yang gue lakuin itu salah. Gue dijauhi temen-temen, dicemooh, diejek. Ya, mungkin ini konsekuensi yang saya dapatkan," ungkapnya dengan gamblang.

Ia menatap ke langit-langit ruangan ini. tatapannya terlihat seperti memandang jauh. Aku yakin, pasti di dalam dirinya ada sesal yang terus membuncah. Seperti seorang cenayang hebat, aku yakin bahwa Angga tengah malu dengan dirinya sendiri, apa yang telah ia lakukan ialah sudah mencapai batas kewajaran sebagai seorang sahabat. Pikiranku itu membuat penasaran dalam diriku semakin buas. "Ngomong-ngomong lo kenapa sih, kok bisa mencintai orang yang gue cintai, Ngga?" tanyaku blak-blakan.

Ia mengembuskan napasnya berat, "Lo inget tempo lalu, gue pernah bilang jujur sama lo. Gue sudah kenal Widya sebelum lo mengenalnya. Dan dari dulu gue juga sudah ada rasa dengannya, sebelum lo juga ada rasa dengannya, Bay."

Aku melebarkan mata sempurna, dengan mulut yang sedikit terbuka juga. Kenapa aku bisa melupakan ini semua.

"Gue mikir. Gue nggak seharusnya merebut kebahagiaan sahabat sendiri," ia meneguk ludahnya, "Tapi, semakin lama, gue juga ingin bahagia seperti lo, Bay. Hingga saat itu gue dikendalikan oleh ego yang terus-menerus hadir."

"Em ... dan, sekarang hubungan lo gimana?"

"Ya, udah, gue sekarang udah putusin."

"Lo apa dia yang memutuskan untuk udahan?"

Ia memautkan ke dua alisnya, dengan kepala sedikit didongakkan ke atas, nampak sedang berpikir, "Sebenarnya, kami sudah saling sepakat untuk udahan. Karena, apa yang kami lakuin itu sebuah kesalahan, dan kami sadar betul itu."

Saat ini kami saling menerima. Sebuah penyesalan tak akan ada ujungnya jika memaakan enggan ntuk dilontakan. Sebuah perpecahan tak akan utuh kemali jika tidak ada salah satu di antara kami yang melangka maju.

Sebuah hubungan yang berusia seumur jagung itu menjadi pelajaran, bagi aku dan Angga. Bahwa persahabatan ini bukanlah sebuah pertaruhan dari kompetisi cinta yang tidak akan ada selesai-selesainya itu. Dan, aku bersyukur, saat ini, detik ini, hubungan persahabatan kami kembali terbangun. Pondasi yang sudah dibangun beberapa tahun itu, hampir saja tidak kuat menahan masalah-masalah yang menghampiri kami.

Dan, aku berharap, hubungan baikku dengan Widya juga kembali tecipta. Karena, bagaimanapun, masa lalu bukan suatu kekurangan yang harus ditepis begitu saja, tapi masa lalu adalah sebuah pelajaran untuk kembali menyemurnakan saat ini, dan masa depan.

"Dan, sekarang lo mau, kan, maafin gue, Bay," tanya Angga.

Aku tersenyum dan bernapas lega, "Gue kira masalah ini nggak akan ada ujungnya, Ngga. Gue kira lo enggan untuk mengatakan hal seperti ini, dan gue pikir aku juga tidak akan begitu mudahnya memberikan kata maaf padamu," aku mengalihkan pandangan ke atas, "Ternyata, benar, bahwa manusia dapat berubah dalam waktu yang sangat cepat, sedetik pun mungkin bisa."

"Iya, gue maafin lo, dan gue juga minta maaf," lanjutku.

"Untuk?"

"Karena, kata maaf bukan hanya berlaku pada orang yang bersalah. Maaf merupakan kunci untuk keluar dari pintu permasalahan." 

Selaksa Rasa (SUDAH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang