Setelah semalaman dihantui dengan beberapa pertanyaan dan kalimat yang mengganggu kenyamanan tidurku, sehingga aku tidak bisa tidur walau kantuk sudah menyerbu.
Pagi ini, aku bersiap untuk berangkat sekolah. Dengan mata yang cukup berat, membuat tanganku tak henti-hentinya mengucek-mengucek kedua mataku. Setelah sarapan, aku bersalaman dengan ibuku, kemudian kukayuh sepedaku menuju sekolah. Mataku menatap kosong, juga dengan beberapa pertanyaan yang telah aku siapkan untuk Angga. Sebenarnya aku malu untuk mempertanyakan hal ini kepada Angga, namun apalah daya rasa penasaran sudah berkuasa.
Lagi-lagi hari ini aku harus menerima pelajaran yang sangat membosankan—ya, pelajaran matematika yang diajar oleh pak Joe. Pak Joe menjelaskan beberapa materi di papan tulis, tentu saja materi yang sama sekali tidak aku mengerti meskipun beberapa kali diajarkan. Kulihat beliau menerangkan dengan begitu semangat, juga dengan antusiasnya para murid yang gila matematika. Kuangguk-anggukkan kepalaku, berlagak mengerti apa yang telah diajarkannya.
Aku kembali menatap kosong ke arah papan tulis. Biar ragaku yang ada di kelas, tapi pikiranku sudah lebih dulu pergi ke negeri antah-berantah. Entah kenapa, rasa cemas mulai membringas, rasa sesal masih kekal. Kenapa Angga lebih tahu dan lebih perhatian kepada Widya?. Sedang aku yang pacarnya sendiri, tidak pernah bersikap romantis. Dan yang membuatku semakin cemas, aku tidak mengetahui tanggal spesialnya—ya, hari ulang tahunnya. Sehingga, Angga sebagai orang asing yang mengingatkanku, kemarin. Aku memang tidak pandai bermain cinta, terlebih memberi perhatian yang lebih. Sungguh, aku memang bodoh.
Takkk!!!!
Sebuah spidol papan tulis melayang dan berhasil mendarat tepat di keningku, membuyarkan lamunanku. Dan membuatku mengernyitkan kening karena menahan sakit. Seisi kelas pecah dalam gelak tawa. Aku segera beranjak dari tempat dudukku, dan mengembalikan spidol itu kepada pak Joe.
"Kalau ada orang ngomong itu didengerin, jangan bengong aja," ujar Pak Joe dengan cukup tegas. "Nanti kalau tidak bisa,kan kamu yang rugi."
Kuangguk-anggukkan kepalaku dengan menunduk. "I ... iya, pak. Maaf."
"Ya udah jangan diulangi," peringatnya.
***
Teetttt ... Tettt ....
Bel istirahat sudah berbunyi. Seperti biasa, aku dan Aldo segera menuju ke kantin untuk memberi makan para cacing-cacing di dalam perut yang sudah meronta-ronta. Aku berjalan menuju tempatnya mbak Neneng, penjual bakso favoritku.
Aku menyantap bakso itu dengan begitu lahap. Tak peduli Aldo bergidik ngeri karena melihat cara makanku yang tak biasa ini . Di tengah kelahapanku menyantap makanan, sebuah ide muncul di pikiranku tiba-tiba—tentu saja, untuk meminta pendapat pada Aldo.
Kutelan cilok yang sudah aku kunyah dengan susah payah. "Ehem, Do."
"Hm," jawabnya dingin.
Sebelum aku memulai pembicaraan, kuminum es teh manis yang telah aku beli. "Do, gue mau cerita, nih." Tanpa menunggu ia mengiakan permintaanku, aku segera bercerita. "Gue kan kalau pulang sekolah biasanya nungguin Angga. Nah, pas kemarin gue nungguin bareng sama Widya. Tiba-tiba Angga menyalami Widya dengan mengucapkan 'selamat ulang tahun'."
Aldo dengan segera menyudahi menyantap makanannya, kemudian ia segera meminum es teh manisnya. Ia terperangah mendengar cerita singkatku. "Beneran?" tanyanya mencoba untuk meyakinkan dirinya. "Terus lo kemarin gimana, dong?"
"Ya, gue langsung disemprot tuh sama temennya Widya, Dita itu," kutelan ludah dengan susah payah. "Ya, emang ini aku yang salah. Aku yang pacarnya saja tidak tahu kalau ia ulang tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Rasa (SUDAH)
Teen FictionPersahabatan bisa tiba-tiba hancur karena cinta. Seorang lelaki culun bernama Bayu Baskara yang mulai menaruh hati pada gadis bernama Widya Anggraini. Gadis itu merupakan seorang yang menjadi dambaan bagi setiap laki-laki seantero sekolah. Meski Ba...