Kebencian

342 12 1
                                    

Mata perlahan terbuka. Pandangan masih terlalu buram untuk menyapu keadaan sekitar. Langit-langit ruangan terlihat samar. Suara mengetit heart monitor kembali terdengar setelah terakhir kali kabel-kabelnya dicopot dari tubuh Adlan.

Adlan memanggil-manggil Umi, suaranya pelan, sangat pelan hingga seandainya udara di depan mukanya memiliki telinga pun tak akan mendengarnya.

Ia berusaha membuka masker oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya, tapi kedua tangannya menolak untuk mengikuti perintah dari impuls otaknya.

Ia berusaha lebih keras, namun ternyata bukan hanya tangan yang tak bisa digerakkan, semua bagian tubuhnya pun juga ikut membelot dari komando otaknya.

Kaki, leher, dan jari-jemarinya tak mau bergerak meski telah sekuat tenaga Adlan menginjeksi impuls dari otaknya ke semua bagian tubuh itu. Hanya kelopak matanya yang masih menurut untuk dibuka-kedipkan. Ia melirik ke segala arah yang bisa dijangkau oleh cakupan matanya.

Pandangannya mulai jelas. Keadaan ruangan tak sama dengan kamar yang terakhir kali ditempatinya, jauh lebih luas dan nyaman. Desain interior ruangan tersebut benar-benar homy, membuat siapapun yang berada di situ serasa berada di rumah sendiri.

Adlan terus berusaha memanggil Umi. Kini kekuatan tambahan sepertinya telah ia dapatkan, suaranya sedikit lebih keras dari yang sebelumnya, namun demikian suaranya masih kalah keras dengan suara heart monitor.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.

"Bah, nanti kalau Adlan sudah sembuh, kita harus mengajaknya ke warung sate tadi, pasti dia akan suka."

Itu suara Umi, tapi kenapa suaranya jauh lebih bertenaga dari yang terakhir kali ia dengar?

Apakah Umi telah pulih total?

"Iya, Bah, Fadli saja habis satu kodi sendirian, apalagi Kak Adlan."

Suara Fadli pun terdengar. Adlan semakin terheran, apakah dia sudah di rumah? Tapi kenapa ruangan itu nampak asing baginya?

"Iya, nanti kalau Kak Adlan sudah sembuh kita akan makan bersama lagi di warung sate tadi." Suara Abah yang kini terdengar.

Fadli berlari ke tempat Adlan berbaring. Ia mengamati heart monitor di samping ranjang Adlan. Heart monitor itu masih nampak keren semenjak kali pertama ia melihatnya.

Matanya tak berkedip melototi radar jantung yang baginya lebih mirip seperti radar kapal selam di film-film action yang pernah ia tonton. Hanya bedanya yang ia lihat kali ini berbentuk kotak dan radarnya berjalan lurus dari kiri, lalu naik, lalu turun, lalu naik lagi, lalu turun lagi, lalu lurus ke kanan sampai menghilang.

Radar seperti ini tak mungkin bisa mendeteksi kedatangan monster gurita raksasa, pikirnya.

"Fadli."

Fadli mendengar sesuatu, seperti ada yang memanggilnya. Ia menoleh ke segala arah, tak ada siapapun.

"Fadli."

Suara pangggilan itu terdengar lagi. Fadli mengarahkan pandangannya ke Adlan. Ia kaget ketika melihat mata kakaknya terbuka.

"Umi, Abah, Kak Adlan sudah sadar!" Teriaknya sambil berlari ke arah Abah dan Umi.

Abah segera mendorong kursi roda yang Umi duduki ke ranjang Adlan. Mata Adlan yang terbuka menyambut kedatangan Abah dan Umi. Dari balik masker oksigen, mulutnya terlihat komat-kamit, seperti mengatakan sesuatu. Abah mendekatkan telinganya ke mulut Adlan.

"Bah, bukakan masker oksigen Adlan, mulut Adlan sakit."

Suaranya terdengar begitu lirih. Abah segera melepaskan masker oksigen Adlan. Sejurus kemudian mulut Adlan kembali komat-kamit. Abah mendekatkan lagi telinganya.

Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang