Matahari telah lengser beberapa derajat dari tengah langit. Azan zuhur dari masjid An-Nur Slawi telah berkumandang satu jam yang lalu. Keadaan di luar kelas begitu lengang, hanya satu dua anak yang melintas di koridor depan kelas. Jam pelajaran keenam, jam tambahan terakhir.
Kelas XII NS 1 sedang khidmat mengikuti pelajaran kimia di ruangan Pak Sapto Sri Nugroho. Materi yang mereka bahas masih berkutat pada unsur-unsur atom. Guru senior berambut putih keseluruhan itu memang pantas dengan kesenioritasannya, terutama dalam bidang pengajaran.
Materi- materi rumit kimia yang biasanya membuat otak cepat mendidih –apalagi di jam pelajaran terakhir seperti itu, otak sedang panas-panasnya- bisa disampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Pak Sapto membuat rangkuman materi-materi tersebut –seperti ikatan kimia, nomor atom, massa atom, proton, elektron beserta kulit-kulit elektronnya, dan semua istilah dalam bab unsur atom lengkap dengan definisinya- menjadi lirik-lirik lagu terkenal.
Suara hijau daun, BAM Vagetoz, kupetik bintang SO7, dan beberapa lagu trend lain dinyanyikan anak-anak dengan lirik yang berbeda, chemistry lyrics. Lirik-lirik tersebut ditampilkan lewat layar proyektor kelas.
Setiap wajah menunjukkan ekspresi riang. Tak ada satupun yang berdiam, semuanya larut menyanyikan lagu-lagu terkenal itu. Iringan musik karaokenya keluar dari dua speaker kelas yang tersambung dengan komputer di meja Pak Sapto.
Beberapa suara sumbang tertutup oleh suara mayoritas. Waiz bahkan bergaya bak penyanyi terkenal, menjadikan pulpen standard-nya sebagai microphone dadakan.
Bel tanda berakhirnya jam terakhir berbunyi. Pak Sapto Sri Nugroho menutup pertemuan. Sebagian anak terlihat kecewa, terutama Waiz. Pak Sapto pun kemudian keluar ruangan diikuti anak-anak. Sementara kebanyakan anak telah keluar kelas, beberapa masih tetap duduk di dalam kelas, termasuk Waiz dan Adlan.
"Iz, kamu bisa membantuku?" Adlan memasukkan buku-buku materinya ke dalam tas.
"Membantu apa?" Sibuk dengan smartphone-nya.
"Antarkan aku ke kuburan Aisyah." Matanya menatap Waiz, lekat.
Waiz menoleh ke arah datangnya tatapan itu, jarinya berhenti mengelus layar smartphone-nya.
"Kapan?" Tanya Waiz pendek.
"Sekarang."
Waiz menelan ludah. "Baiklah."
"Ayo!" Adlan memasang muka ceria.
Waiz sedikit bingung dengan ekspresi Adlan. Mereka berdua lalu beranjak keluar kelas, menuju tempat parkir.
@@@@
"Lan, kita mampir ke Indomaret dulu yah? Ibuku nitip dibelikan pembersih lantai!" Waiz berteriak keras. Matanya tetap fokus ke jalanan, menyetir.
"Iya! Aku juga mau beli air mineral, tenggorokanku kering!" Adlan balas berteriak. Tangan kanannya menggapit kedua tongkat jalannya.
Ninja putih menyebrang ke sisi jalan sebelah kanan, berhenti di sebuah Indomaret di daerah Blubuk. Adlan dan Waiz turun dari motor. Keduanya menaruh helm di kaca spion, lalu masuk ke toserba berpendingin ruangan itu.
Suasana yang jauh lebih sejuk langsung menyapa kulit begitu mereka melewati pintu masuk. Waiz melangkahkan kaki ke tempat khusus peralatan pembersih ruangan, sedangkan Adlan menetakkan tongkatnya ke tempat pendingin minuman.
Selesai mengambil dua botol air mineral, Adlan menetakkan kembali tongkatnya menuju kasir –jangan tanya bagaimana caranya membawa dua botol itu. Sesampainya di tempat kasir, Waiz sudah terlebih dahulu ada di sana, sedang membayar sebotol pembersih lantai titipan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)
Teen FictionBagian kedua dari Novel Mozaik Cinta. Kisah yang akan semakin menguras air mata, membakar hati dengan api rindu, dan menenggelamkan pembaca dalam lautan emosi