Di rumah Kyai Hadi, tepatnya di ruang tamu, lesehan.
"Ayo, Adlan, Waiz, Roni, tambah lagi nasinya, itu opor ayamnya juga masih banyak."
Kyai Hadi menunjuk dua mangkuk besar berisi opor ayam dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menyendok nasi di piringnya, tenang dan kalem."Iya, Kyai. Kalau Waiz tak perlu ditawari, nanti juga bakal ambil sendiri." Kata Adlan, lalu melahap nasi dan potongan ayam di sendoknya dengan ganas.
"Enak saja nuduh sembarangan, memangnya siapa yang sudah nambah sampai tiga kali tanpa di suruh, hah?" Waiz melirik piring Adlan yang penuh dengan tulang ayam di tepiannya.
Check mate, Adlan tak bisa membalas Waiz. Tumpukan tulang ayam di piringnya adalah bukti nyata kalau Adlanlah yang paling rakus di jamuan makan siang itu. Pak Roni, salah satu jamaah pengajiannya Kyai Hadi yang saat itu juga sedang bertamu tertawa, sedangkan Kyai Hadi hanya tersenyum melihat tingkah Adlan dan Waiz.
Empah Farida berjalan melewati bingkai pintu ruang tengah, membawa teh untuk Kyai Hadi.
"Makan yang banyak yah, pasti kalian belum makan siang kan?" Kata Empah Farida sambil meletakkan gelas berisi teh tersebut di depan Kyai Hadi.
Senyum ramahnya yang terlontar kepada Adlan, Waiz, dan Pak Roni membuat wanita berumur lima puluhan itu nampak lebih muda dan cantik.
Suasana makan siang di rumah Kyai hadi memang selalu menyenangkan. Udara keakraban begitu terasa. Perbedaan umur Kyai Hadi dengan ketiga tamunya yang terpaut jauh tak membuatnya kaku dalam memilih topik-topik pembicaraan. Kyai Hadi memang pandai menyesuaikan diri dengan setiap tamu yang datang.
Lima belas menit berlalu, makanan-makanan yang disuguhkan pun tandas, tak tersisa apapun selain tulang belulang dan beberapa tetes sisa kuah opor.
"Muttaqin, tolong bawakan piring-piringnya ke dalam."
Dengan intonasi nada yang lembut Kyai Hadi menyuruh salah satu santrinya. Dalam sekejap, ruang tamu pun langsung rapi kembali.Kyai Hadi mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya.
"Kalau kalian kan belum disunat, jadi tidak boleh merokok dulu, hahaha." Kyai Hadi menggoda Adlan dan Waiz yang tidak merokok. Keduanya tersenyum akrab, biasa dengan canda tersebut.
Kyai Hadi menyedot rokoknya enteng. Ujung rokok menyala merah, sekejap kemudian asap keluar dari mulut beliau. Pak Roni melihat hal itu dengan pandangan kecut.
"Mohon maaf Pak Kyai, bukankah merokok itu hukumnya makruh? Bahkan sebagian ulama mengatakan haram?" Dengan nada suara yang agak bergetar, Pak Roni memberanikan diri menanyakan hal yang mengganjal di hatinya.
Kyai Hadi tersenyum takzim, menyedot rokoknya, lalu menghembuskan asapnya enteng.
"Kalau saya, niat saya merokok adalah untuk membakar setan-setan yang ada, dan setan yang tidak terbakar akan masuk ke dalam diri kalian masing-masing, hehehe."
Kyai Hadi terkekeh menyampaikan jawaban pendeknya. Gigi-giginya yang masih lengkap terlihat putih."Maksud Kyai?" Pak Roni masih belum paham dengan maksud dari jawaban Kyai Hadi.
"Itu tadi jawaban yang disampaikan oleh guru saya saat beliau ditanya dengan pertanyaan seperti itu. Beliau adalah al marhum wal maghfur lah, al habib Ahmad bin Ali Bafaqih, Tempel, Jogjakarta.
Beliau orang yang sangat arif. Beliau jauh lebih tahu dan mengerti masalah agama daripada saya, dan beliau pun merokok. Saya sebagai murid hanya mengikuti jejak beliau saja, kalau mau tahu dalilnya, tanya saja sama beliau langsung."
"Oh, begitu yah Pak Kyai." Pak Roni mengangguk- angguk sok paham, padahal tak tahu maksud ucapan Kyai Hadi tanya saja sama beliau langsung.
Seolah tak tahu mau bertanya apa lagi, Pak Roni pun meneguk teh yang tersuguh di depannya. Kyai Hadi kembali menyedot rokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)
Teen FictionBagian kedua dari Novel Mozaik Cinta. Kisah yang akan semakin menguras air mata, membakar hati dengan api rindu, dan menenggelamkan pembaca dalam lautan emosi