Dua minggu telah berlalu. Perasaan Adlan berangsur membaik meski sesekali ia masih termenung sendiri, lalu tanpa sadar air matanya menetes.
Keluarganya, teman-temannya, guru-gurunya –terutama guru ngajinya, Kyai Hadi-, dan semua hal indah yang Allah tuliskan dalam garis takdir kehidupannya membuatnya sadar bahwa kebahagiaan yang Allah sediakan untuknya jauh lebih banyak daripada kesedihan yang selama ini menyedot perhatiannya, kesedihan yang sempat membuatnya tak bisa merasakan keberadaan semua anugerah tadi.
Fadli yang masih sering mengajaknya perang air saat punya kesempatan berdua di dalam kamar mandi, Umi yang dengan kasih sayangnya selalu membesarkan hatinya saat terpuruk, Abah yang selalu memberikan contoh nyata bagaimana menjalani kehidupan yang tekadang keras seperti karang, sulit seperti chess master, manis seperti lolipop favorit fadli yang sering ia jilat saat Fadli lengah gara-gara terfokus nonton Naruto shippuden, gurih nikmat seperti semur kentang buatan Umi, dan pahit seperti obat-obatan yang sampai saat ini masih harus ia minum, semuanya terlalu berharga untuk diabaikan hanya gara-gara seorang perempuan.
Hobinya dalam bidang tulis menulis kini membuat facebook dan blognya ramai dengan liker dan pengunjung. Bahkan Bu Narni, guru bahasa Indonesianya dan beberapa guru lain yang sering aktif di medsos tak jarang memberikan apresiasi atas tulisan-tulisannya.
Semenjak perdebatan itu, Pak Umam lebih sering absen dengan berbagai alasan. Tensinya naik lah, sakit perut lah, harus jemput istri lah, dan berbagai alasan lain yang tak dilontarkan selain di kelasnya Adlan.
Kini Adlan lebih sering berkecimpung dengan google search daripada ms word, facebook, dan blogger. Dia sedang mencari peluang-peluang usaha yang bisa menghasilkan uang dengan cepat dan banyak. Bukan karena otaknya telah teracuni paham dan gaya hidup kaum borju, namun karena sebuah dorongan batin yang sangat kuat.
Ya, dia ingin memberangkatkan Abah dan Umi ke tanah suci Mekah. Dia ingin sekali membalas semua pengorbanan kedua orang tuanya itu, meski ia tahu, sekalipun berlian di seluruh dunia ia berikan, seujung kukupun pengorbanan dan kebaikan Abah dan Umi yang tulus itu belum bisa terbalas.
Empat hari berkutat mencari peluang usaha sampingan yang cocok dengan keadaannya sebagai pelajar, hasilnya masih nihil. Ternak itik, ternak lele, agen buku, jual kue, jual kerajinan tangan, sampai forex, semuanya berlalu dengan gelengan kepalanya.
Tak ada satupun jenis usaha yang cocok untuk dirinya yang berstatus sebagai pelajar. Terlalu sulit lah, terlalu menyita waktu lah, terlalu sedikit hasilnya lah, dan masih banyak lagi rentetan terlalu yang lain.
Tiiit,..!
Suara klakson Ninja terdengar dari luar rumah. Waiz datang menjemput. Adlan menutup laptopnya, memasukkannya ke tas bersama keempat buku paketnya lalu beranjak keluar kamar.
Sebenarnya Adlan sudah bersiap sepuluh menit lalu. Batik biru dan celana hitam, seragam hari Sabtunya, telah ia kenakan. Kaos kaki hitam pun telah membungkus kakinya. Ia berjalan ke dapur –sudah dua hari kakinya bisa dilangkahkan tanpa bantuan tongkat lagi- untuk berpamitan dengan Umi.
Ia mencium tangan Umi, Umi pun mencium kening Adlan. Setelah meminta doa, Adlan berjalan keluar rumah, menemui Waiz.
"Sudah mengerjakan tugas Pak Sekhu?" Tanya Waiz dari atas motor. Helmnya belum dilepas. Mesin motor masih menyala.
"Sudah." Jawab Adlan, medekati motor lalu naik di jok belakang.
"Siap?" Waiz bersiap melepas kopling.
"Siap."
Kopling dilepas, motor berjalan. Ban moge itu menggilas jalanan desa yang berbatu. Suara garang yang keluar dari knalpot Yoshimura-nya terdengar meraung-raung. Beberapa detik berlalu motor sudah masuk ke jalan raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)
Fiksi RemajaBagian kedua dari Novel Mozaik Cinta. Kisah yang akan semakin menguras air mata, membakar hati dengan api rindu, dan menenggelamkan pembaca dalam lautan emosi