Udara pagi menyelimuti atmosfer bumi. Sejuk hawanya lembut membelai kulit orang-orang yang mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Para pedagang ponggol sibuk melayani pembeli yang berjubel mengantri, beberapa pedagang serabi sedang mengikati plastik-plastik serabi untuk kemudian diserahkan kepada pembeli yang rata-rata adalah ibu rumah tangga, sementara dua orang pedagang apem lebih didominasi oleh pembeli dari kalangan anak-anak.
Di antara anak-anak tersebut ada yang memakai kaos tidur, kaos bola, dan ada juga yang sudah siap dengan seragam merah putih dan biru putihnya. Mereka mengantri untuk mendapatkan makanan yang lembut di mulut dan manis di lidah itu sebelum berangkat ke sekolah.
Di dahan-dahan pepohonan mangga, kelapa, dan bambu, para burung juga tidak mau kalah ramai, saling berkejaran, melompat dari satu dahan ke dahan lain, dan bercengkerama indah dengan cericit kicaunya.
Langit pagi yang biru bercorak awan-awan putih bergumpal juga turut menyumbang keindahan suasana pagi di desa itu. Suasana pagi memang selalu terasa menyenangkan.
Di teras rumah, Adlan menggunakan suasana pagi yang indah itu untuk melatih diri berjalan dengan tongkat. Kaki kanannya masih agak sulit digerakkan meski luka tembak di paha kanannya sudah kering.
Ia berjalan tertatih dari ujung teras ke ujung teras yang lain, bolak-balik. Tiga kali sudah tongkatnya terlepas dari jepit ketiaknya hingga ia terjatuh, hal itu terjadi karena kesensitivitasan ketiaknya.
Meski penyangga ketiak di bagian atas kedua tongkatnya dilapisi bahan lembut sejenis busa, namun rasa geli masih menggeliat saat ketiaknya ia tumpukan ke tumpuan itu.
Empat puluh menit sudah Adlan berlatih berjalan dengan tongkat, terhitung sejak bubar pembacaan wirid subuh tadi. Lama kelamaan ia pun terbiasa dengan rasa geli saat menjatuhkan berat badannya pada penyangga ketiak tongkat.
"Kak, Fadli berangkat dulu." Fadli menyodorkan tangannya, menjabat tangan Adlan lalu menciumnya.
"Hati-hati, jangan ngebut naik sepedanya." Adlan berpesan.
Fadli mengangguk nurut, megiyakan. Ia berjalan menuju sepeda keranjangnya, menuntunnya keluar rumah, lalu menaikinya. Sepeda itu nampak terlalu besar untuk Fadli, kakinya bahkan tak sampai saat pedal dikayuhkan ke bawah. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu sepeda yang dimiliki keluarga Adlan. Fadli megayuh semakin jauh lalu hilang di tikungan.
Baru dua menit Adlan melanjutkan latihan jalannya tiba-tiba suara raung mesin motor ninja terdengar dari jalanan depan perumahan. Ninja putih berhenti tepat di depan rumah Adlan. Waiz datang. Ia melepas helmnya, menaruhnya di spion motor, lalu turun menghampiri Adlan.
"Hei, belum bersiap kau?" Waiz menyapa.
"Bahkan orang yang lebih liberal dari Pak Umam pun akan aku bungkam dengan kesiapanku."
"Bukan itu maksudku, Lan. Maksudku, kenapa kamu belum bersiap dengan seragam dan semua perlengkapan sekolahmu?"
"Oh, hehe, aku kira apa, sorry, terlalu bersemangat. Kamu duduk saja dulu, tak sampai tujuh menit aku akan selesai."
Adlan berjalan tertatih, masuk ke dalam rumah."Terserahlah." Waiz duduk di lantai teras.
Enam menit kemudian Adlan keluar dengan seragam putih abu-abu dan tas gendong di punggungnya.
"Ayo berangkat!" Mengayuhkan tongkat, menghampiri Waiz.
"Ayo, aku tak sabar ingin melihat mulut liberal itu terbungkam!" Waiz berdiri dengan tangan mengepal, matanya sedikit menyipit.
@@@@
Bel jam kedua berbunyi. Anak-anak XII NS 1 berbondong-bondong pindah ruangan, dari ruang matematika yang diampu oleh Pak Sekhu ke ruang biologi, Pak Umam. Adlan berjalan –dengan bantuan tongkatnya- bersama anak-anak yang lain. Waiz di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)
Teen FictionBagian kedua dari Novel Mozaik Cinta. Kisah yang akan semakin menguras air mata, membakar hati dengan api rindu, dan menenggelamkan pembaca dalam lautan emosi