Lampu kamar menyala terang, cahaya putihnya menyeruak ke setiap sudut kamar. Kipas berputar kencang, full speed. Suara baling-balingnya bergemuruh mengisi udara ruangan tersebut.
Adlan sedang asik membaca novel yang tadi sore ia beli. Baju takwa dan sarung yang ia kenakan saat sholat isya tadi masih melekati badannya. Sudah satu setengah jam lebih dia duduk terpaku menyapu tiap baris paragraf novel dengan matanya.
Sesekali tangannya ia sapukan ke dahi jika bintik-bintik keringat sudah mulai muncul. Cuaca di luar sedang mendung, mungkin itulah penyebab memanasnya suhu udara. Jika hujan turun, baru suhu udara akan berangsur turun hingga ke derajat adem, dan bahkan dingin.
Adlan begitu serius meraba tiap susunan kalimat, frasa, cara penyampaian, visualisasi latar, dan pesan-pesan moral yang ada di novel yang sedang ia pelajari itu.
Lembar demi lembar telah berlalu, sesekali ia membuka halaman yang telah lewat untuk mengecek kembali susunan kalimat dan majas baru yang telah ia hafal.
Dua setengah jam telah berlalu, kini punggungnya yang tak mau diajak kompromi, minta dirilekskan sejenak dari kepenatan menahan bobot tubuh selama dua setengah jam nonstop.
Adlan beranjak dari kursi belajarnya ke ranjang, merebahkan badan dan meregangkan persendian-persendian yang kaku. Saat matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, tiba-tiba ia teringat sesuatu,
"Surat Aisyah!"
Ia segera bangun dari ranjangnya, berjalan cepat menuju ruang belakang, mesin cuci. Adlan mencari-cari seragam batiknya di antara tumpukan pakaian-pakaian kotor. Ketemu. Ia lalu merogoh ke dalam saku batik itu.
"Alhamdulillah masih ada."
Ia mengambil surat tersebut kemudian kembali ke kamar. Setelah menutup pintu kamar, ia duduk di kursi belajarnya. Perlahan ia buka lipatan suratnya. Nampak deretan tulisan tangan berjejer rapi di atas kertas putih itu.
Adlan, bagaimana kabarmu? Semoga selalu dalam keadaan baik, seperti doa yang selalu kupanjatkan untukmu. Aku tulis surat ini beberapa jam sebelum operasi, dan entah kenapa keinginan menulis surat untukmu tiba- tiba saja datang.
Aku punya perasaan kuat bahwa operasi ini akan gagal. Seandainya perasaanku ini benar, maka ketika kamu membaca surat ini aku sudah berada di tempat yang lain.
Melalui surat ini, aku ingin menyampaikan luapan terimakasih tiada terkira untukmu.
Terimakasih telah sudi hadir dalam rangkaian jalan takdirku, terimakasih telah mengajariku banyak hal, terimakasih telah mengisi hari-hari terakhirku dengan kegembiraan dan semangat, terimakasih telah membuat senyum bahagia selalu tergores di wajahku, dan terimakasih, karena telah mengenalkanku makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
Pernah suatu ketika aku berencana untuk mengungkapkan perasaanku padamu, tepatnya ketika hari Sabtu, sehabis majelis ta'lim mingguan di ruang 1.21.
Namun seolah mengetahui keinginanku, di hari itu pula, kamu yang menjadi pembicara pengganti di majelis ta'lim ROHIS mingguan malah memilih judul syahid karena memendam cinta.
Mendengar ulasan materi darimu, aku pun mengurungkan niatku untuk mengutarakan perasaan. Aku ingin cinta yang bersemayam di hatiku ini suci, putih, tak ternodai pelanggaran-pelanggaran syariat.
Aku ingin agar Allah saja yang menentukan jalan cintaku ini. Memang semenjak itu aku lebih sering menangis, bukan karena bersedih, namun karena rasa syukurku kepada Allah, rasa syukur atas cinta yang telah dia tumbuh suburkan dalam hatiku, dan atas kehendakNya membiarkan cinta itu tetap suci tak terkuak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adlan & Nadia (Mozaik Cinta 2)
Teen FictionBagian kedua dari Novel Mozaik Cinta. Kisah yang akan semakin menguras air mata, membakar hati dengan api rindu, dan menenggelamkan pembaca dalam lautan emosi