Sorry, aku benci valentine day tahun ini. Dari sekian toko coklat kenapa semua terhubung ke toko ini. Toko tempatku bekerja. Bisa bayangkan .. teman atau sahabat, yang kamu kenal baik terpedaya persis di depan matamu. Enggak, kalian pasti nggak bisa bayangkan. Paling payah lagi, temanku tak tahu kalau aku tahu rahasia besar pacarnya.
Jadi inilah kisahnya ...
Beberapa temanku sering mampir ke toko untuk sekadar ngopi-ngopi bersama teman mereka. Atau jika datang sendirian, pasti sambil membaca buku, mengerjakan tugas kuliah, atau cukup bermain gadget. Tempatnya memang cozy, bukan spesialis kafe ala kedai kopi pada umumnya, tapi toko ini menjual kopi juga, meskipun tidak banyak varian seperti di kedai kopi. Ada beberapa set meja kursi buat yang ingin menikmati di tempat; aneka cake coklat, dan macam-macam coklat padat yang lucu sebagai icon toko.
Suatu kali, Coki teman kuliahku nge-chat. Seingatku waktu itu jam empat sore. Dia bilang, sedang berada di sekitaran sini, terus bertanya, apakah ada meja yang kosong? Kujawab iya. Kemudian aku balik bertanya, kenapa harus nanya segala, biasanya, datang, ya datang saja. Kalau pun meja penuh, dia biasanya duduk di bar, sering ngobrol juga sama aku, kalau pas tidak ramai. Tapi dia bilang, ini momen spesial, dia mau nembak cewek katanya.
Tak lama dia datang dengan seorang cewek cantik. Kelihatan stylis dan glowing banget. Pokoknya wow. Terus-terang aku agak sangsi, mana mungkin cewek ini mau ditembak Coki yang ... uhm, biasa aja. Ya, oke Coki memang cukup manis untuk dipandang, tapi apa cukup sepadan dengan cewek itu. Penampilan mereka lumayan 'njomplang'. Cewek itu terlihat dari kelas atas, sementara Coki, lemari pakaian di kosnya saja berisi persediaan Indomie, saking minim koleksi bajunya. Tapi nyatanya, cewek itu mau juga dibonceng ke sini rupanya.
Sebagai teman terdekatnya tentu saja aku harus mendukung. Apalagi ketika dia kelihatan gugup, saat menghampiriku di etalase untuk memilih camilan coklat untuk teman kopi yang mereka pesan.
"Kamu berani nembak cewek paling cakep yang pernah jalan sama kamu, pastilah kamu udah dapet sinyal dari dia, ya, kan?" kataku berbisik, sekadar membakar semangatnya.
"Ya, tapi uhm .. nggak tahu juga, aku nekat sajalah," jawab Coki memaksakan diri tertawa terbahak. "Wismilak!" katanya, sebelum berlalu dari meja kasir sambil menenteng nampan berisi pesanan mereka.
Setelah itu aku tidak memperhatikan mereka lagi. Happy hour telah membuatku sibuk sampai petang. Jika jalanan macet di jam pulang kantor, banyak pengendara menepi ke toko ini untuk sekedar ngopi-ngopi sambil menunggu jalanan lancar. Aku bahkan tak menyadari kapan Ciko dan cewek itu pergi dari toko, saking ramainya pengunjung. Tapi malam harinya, Ciko datang lagi ke toko sendirian untuk mengumumkan kabar gembira. Ya, ternyata cintanya diterima. Secara de facto mereka resmi pacaran. Aku sampai di traktir sepotong tiramisu karenanya. Lumayan.
Resiko mempunyai sahabat yang baru punya pacar, apalagi sedang hangat-hangatnya seperti Coki, membuat intensitas "friend time" langsung menurun drastis. Kamu tidak lagi sering bertemu, bahkan di kampus. Selalu sibuk ini dan itu dengan Sesil, nama pacarnya itu. Kalau chat sih, masih, tapi belakangan, berangsur-angsur mulai dibatasi. Coki bilang, Sesil cemburu sama aku. Huft, klasik ya. Memang jarang orang mau legawa pacarnya punya sahabat lain jenis.
Sampai pada suatu hari, tanggal 12 Februari ketika pesanan coklat di toko mulai meningkat pesat, menjelang Valentine day. Ada seorang cowok berusia matang, sekitar tiga puluhan akhir atau mungkin empat puluhan awal, datang ke toko memesan coklat. Sesibuk apa pun, aku pada saat itu, cowok ini sanggup merebut perhatianku. Dia terlalu menawan untuk diabaikan. Bukan berarti, pelanggan lain aku abaikan. Tentu saja kulayani layaknya penjual profesional. Hanya saja, cowok dengan garis bibir yang terlihat selalu tersenyum itu, menawanku lebih dari sekedar sikap profesional. Mataku seperti enggan enyah dari wajah senyuman itu, padahal dia tidak selalu tersenyum. Tapi memang wajahnya seperti itu, mengesankan selalu tersenyum. Orang bilang cowok itu punya "smiling face". Tak cuma itu, pembawaannya yang tenang dan dewasa seperti punya magnet tersendiri. Belum lagi jika melihat penampilannya secara keseluruhan. Ia rapi, klimis dan tampak berkelas.
"Dek, yang ini, sama yang ini, ya," tunjuknya di kaca etalase. Aku sampai terkesiap dan malu karena intonasinya seperti sengaja membangunkan tatapanku yang terlalu ... jauh.
"E e e, iya," jawabku gugup. "Mau take away atau dikirim dari sini Pak?"
"Kirim saja, biar kejutan, gitu."
"Baik, sementara Bapak menulis alamat, dan memilih kartu untuk ucapannya, saya siapkan nota dan slip pengirimannya sekalian ya, Pak," kataku sambil menggiringnya ke meja di dekat kasir, tempat segala macam urusan beginian dituntaskan.
"Aduh, bagaimana ini, saya tidak pandai bikin ucapan-ucapan manis," ujarnya setengah berbisik di depan kartu yang di pilihnya.
"Jangan khawatir, kami sudah siapkan, Bapak tinggal pilih dan menyalinnya," jawabku sambil menarik lembaran HVS yang telah dilaminating, berisi deretan ucapan Valentine day.
Dia tersenyum, kemudian mulai membacanya satu per satu kalimat yang tertera di kertas itu. Gerakan matanya membuatku nyaris melupakan tugas pelayan toko. Ini cowok, padahal sudah terhitung tua untuk mempesona cewek dua puluh tahun seperti aku. Baru ini juga aku lihat gadun (om om) segini menariknya. Begitu batinku berbisik ribut dan menyesalkan ketertarikanku padanya.
"Duh, ini kok semuanya, kesannya abg sekali ya, Dek, agak lebay gitu," desahnya terdengar kecewa.
"Nggak ada yang cocok ya?" Dia mengangguk. "Uhm, kira-kira ingin ungkapan seperti apa, maksud saya, istri Bapak sukanya yang bagaimana? Di puji kah, atau apresiasi mungkin?"
"Bukan, ini untuk pacar. Saya sudah empat tahun menduda. Dan sialnya saya nggak tahu pacar saya sukanya kata-kata seperti apa?" bisiknya, sambil tersipu jenaka.
"Saya sarankan simple saja kalau begitu, misalnya, happy vanlentine, i love u," kataku. Aku menjiwai betul ketika mengucapkan tiga kata terakhir.
Dia tercenung sebentar, "kamu benar juga Dek, lagi pula saya sudah nggak pantas pakai kalimat-kalimat puitis, yang penting hadiah saya istimewa, dari hadiah cowok mana pun," katanya tergelak.
Aku mengangguk mendukungnya, "coklat pilihan bapak memang istimewa."
"Coklat ini memang istimewa, tapi ini jauh lebih istimewa," dia tersenyum sambil mengayun-ayunkan sebuah kunci dengan desain yang belum pernah kulihat semewah itu untuk sebuah kunci.
Mataku terbelalak takjub. "Wow, kunci apa tuh Pak?" tanyaku kampungan.
"Apartement Cempaka Hijau."
Kali ini aku nggak bisa sembunyikan lagi ketakjuban paripurnaku, "beruntung sekali pacar Bapak." Decakku iri.
Hey wajar saja perasaan iri menjalar ganas, sebab aku tahu apartemen itu. Apartemen itu persis sejajar dengan flat yang kusewa bersama dua teman kampus. Apartemen mewah dengan fasilitas gym dan kolam renang yang sering kuterawang getir dari balkon di lantai tujuh, flat kumuh yang kutinggali.
"Biar dia tidak banyak mengeluh lagi karena harus tinggal dengan kakaknya di kontrakan sempit dan terus-menerus diawasi," bisiknya sambil lagi-lagi tersenyum jenaka.
"Saya tahu rasanya," jawabku sok idih. "Mau dikirim atas nama siapa dan kemana coklatnya, Pak?" kataku mengalihkan sambil siap mencatat di slip pengiriman.
"Sesil dalam kurung Coki, jalan Panjaitan no. 28 Jakarta Tenggara."
Hah! pekikku dalam hati. Jantungku langsung seperti berhenti berdetak. Iya, itu alamat kosnya Coki! Jadi, Sesil tinggal serumah sama Coki? Sesil adiknya Coki? Aku kenal keluarganya, tak ada keluarga apalagi adiknya bernama Sesil. Sesil, bukannya ceweknya Coki? Lah nembaknya saja di toko ini? Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulung seperti komendi putar di kepala.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PRECOGNATION
Mystery / ThrillerNovel Thriller Suspense ~ New Adult __________________________________ Bagaimana kalau kamu tiba-tiba tahu rahasia pelik tentang sahabatmu. Dilema menghantui sepanjang waktu. Lalu menyeretmu pada arti .. bahwa hidup ini adalah meja perjudian dengan...