"Loh, kok nggak bawa apa-apa, katanya beli pembalut?"
Pertanyaan Coki membuatku termangu. Aku berdiri di belakang pintu flat yang baru saja ku tutup, lalu menatap dia dan Lisna yang berdiri di dekat cabinet dapur bergantian. Mereka juga menatapku. Aku masih sibuk mempertimbangkan apakah harus menjawab pertanyaannya atau tidak. Maksudku, aku tak tahu harus menjawab apa.
"Masa Alfa tutup?" Lisna terlihat keheranan, "bukannya dua puluh empat jam?"
Aku mendadak gagu waktu mengatakan, "enggak, nggak tutup."
"Terus?" Lisna menaikkan alisnya.
"Nggak tahu, aku —,"
"Ya ampun kamu pasti lupa bawa dompet ya, tampangmu aneh banget sih," Lisna tertawa, "udah, pake punyaku dulu."
Lisna kemudian pergi ke biliknya, tak terlalu lama dia sudah muncul lagi, lalu melempar kemasan sebuah merk pembalut yang sudah robek ujungnya. Aku menerimanya dan masih tak tahu harus bagaimana. Punggungku tetap bersandar di pintu seperti direkat lem saja. Pikiranku benar-benar terpecah-pecah pada dompet yang terselip di bagian pinggul celana legging-ku. Dompet dengan butiran berwarna ungu terang itu.
"Ya udah, sana." Lisna mengarahkan alis dan sudut matanya ke arah kamar mandi. Ya sudah, aku pura-pura saja ganti kalau begitu.
"Kubawa kopimu ke balkon, ya," seloroh Coki, sambil melenggang membawa dua cangkir ke luar.
Kejadian selanjutnya, aku dan Coki malah sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia dengan selulernya; sebentar membuka Instagramnya, lalu melihat WA. Sebentar kemudian melihat Twitternya, lalu mengecek WA-nya lagi. Apa pun aplikasi yang ia buka, selalu berakhir di WA. Aku bisa melihatnya karena dia duduk sebelahku di sofa. Meski posisi duduk ku agak menyerong ke sudut, tapi semuanya terlihat jelas.
Sementara itu, pikiran ku tak berhenti menjelajah mencari tahu tentang pil itu. Oya, pas di kamar mandi aku memeriksa dompet itu sekali lagi. Kali ini aku memeriksanya lebih cermat. Bahkan sempat memeriksa kartu identitasnya juga. Namanya Harunza Wijaya. Umurnya empat puluh satu tahun. Dia tinggal di kawasan Baverly hill-nya Indonesia yaitu Pondok Indah. Kawasan yang konon memiliki nilai jual paling tinggi. Belum ada di kawasan lain di Jakarta yang lebih tinggi dari empat puluh jutaan per meter, selain di Pondok Indah. Kawasan perumahan super elit sampai detik ini. Om Harunza fix horang kaya.
Mengherankan dia menitipkan dompetnya pada ku, orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana bisa, dia percaya begitu saja menitipkan benda yang sangat pribadi, dan amat berharga, dan nilainya ngeri ... pada orang asing. Kecuali, sesuatu membuatnya terpaksa melakukannya. Mungkin saja jika tidak melakukannya bisa merugikan dirinya. Kerugiannya pasti lebih besar dari nilai isi dompetnya itu. Padahal; ATM, kartu kredit dan uang di dalamnya jelas nilainya pasti ngeri, untuk seseorang yang tinggal di Pondok Indah.
Belum lagi pil-pil itu. Pil itu jelas salah satu jenis amphetamine high level. Bisa jadi sejenis inex atau Angel dust. Aku bukan pemakai, tapi memiliki banyak pemgetahuan untuk urusan begituan. Aku mendapatkannya sekak jaman bekerja di sebuah klub malam berskala internasional, sebagai pelayan. Jauh sebelum aku ditarik tanteku untuk bekerja di toko coklatnya. Aku tak bisa menolak, karena tante memaki-maki aku di club' itu ketika ia pas datang juga ke situ. Ia sedang tinggi-tingginya saat menjewerku di depan tamu lainnya. Sial, ah, kapan-kapan saja cerita tentang Tanteku itu.
Sebenarnya sebelum insiden jeweran yang memalukan itu, aku memang sudah berniat berhenti dari sana. Sejak bekerja di sana tubuh ku tidak pernah fit dan benar-benar bugar. Ya mau bagaimana, setiap malam aku begadang. Tidur ketika matahari terbit. Belum lagi mau tak mau aku terpaksa harus minum jika ada tamu menuangkan sendiri alkohol untukku. Biasanya oas mereka celebrate atau apa lah begitu. Menjadi server di klub seperti itu harus "asyik" atau kamu dipecat. Beda, ya dengan server restoran yang hanya mengantar makanan atau minuman. Server di klub' model begitu, kamu harus ramah dan sok asik. Biar tamu terus open bottle sampai duitnya terkuras. Gajinya memang lumayan besar untuk ukuran mahasiswa gembel sepertiku. Di toko coklat aku cuma dapat separuhnya. Belum lagi ketika mendapat tips dari pelanggan. Aku pernah mendapat tips dua kali lipat lebih besar dari gajiku, hanya dalam dua malam saja. Terkadang, saat mereka sedang tinggi-tingginya, mereka sudah tidak bisa membedakan lagi, duit lima dollar dengan duit lima puluh dollar, atau, duit lima puluh ribu dengan seratus ribu. Apalagi dengan tata lampu yang memang sengaja dibuat redup. Cuma ya itu ... siap-siap saja badanmu rusak jika bekerja di sana. Kurus, cekung, dan selalu mengantuk di siang hari. Kuliah jadi tak karuan. Nilaiku parah. Bagaimana tidak, kamu nyaris tidak pernah sadar seratus persen setiap harinya. Efek alkohol akan ngintip terus di siang hari, apalagi kalau kamu hampir tiap malam dihajar alkohol terus-menerus tanpa jeda. Pokoknya kacau. Tidak pernah sampai tumbang sih, karena MF (managemen floor)ku pasti akan menegur, kalau ketinggian. Karena bekerja dengan keadaan mabuk tinggi, pasti bakal berantakan juga.
Kembali tentang pil itu. Bekerja di klub itu membuat pergaulanku jadi tambah luas. Tapi secara profesional, aku harus tetap terjaga, segala keramah-tamahan hanya boleh terjadi di dalam club. Aku tidak pernah memberi tahu, nama asliku, tempat tinggalku, kuliahku dan semua informasi yang asli. Ini berkat saran senior juga dan ku pakai benar sarannya karena banyak kejadian yang merugikan jika membawa pergaulan klub sampai ke kehidupan sehari-hari. Dari korban PHP, sampai korban parah lainnya, salah satunya jadi perantara perdagangan narkoba. Pokoknya ngeri. Aku tahu persia siapa siapa saja yang bermain begituan di klub. Aku juga tahu sebagian besar jenis-jenisnya. Kenapa aku harus tahu? Karena aku merasa ngeri kalau urusan narkoba. Aku orang kecil. Kelas kroco. Terjun dunia begituan alamat remuk tidak saja tubuhmu, tapi juga hidupmu! Ini sungguhan, kalau kamu bukan orang kuat secara status sosial dan kuat secara finansial, jangan harap bisa selamat, kalau nekat nyebur ke dunia drug.
Pilihanmu cuma tiga, yaitu; penjara, mati atau berakhir di rumah sakit jiwa! (gila beneran loh, ya) Serius. Kalau kamu model kelas kroco seperti aku, modal apa yang kamu punya buat selamatkan tiga resiko yang pasti jadi nasib para pemakai atau pengedar? Bagaimana tertangkap? Berapa duit yang kamu punya untuk menebus dan merekayasa kasus? Bisa puluhan sampai ratusan juta tergantung bobot kasusmu, gaes. Berapa duit yang kamu punya untuk rehab? Berapa harga satu pil atau satu shoot suntikan untuk menetralisir racun dalam darahmu akibat drug? uh, bisa berjuta-juta habisnya. Maka dari itu aku merasa harus benar-benar tahu jenis barang haram itu, biar tahu kalau ada yang kasih "kado" saat di dalam. Atau ketika ada oknum tamu iseng yang berniat ngerjain buat senang-senang; senang melihat anak baru kena efek pemula, senang melihat orang baru jadi hilang kontrol dan bertingkah konyol, demi bahan becandaan atau fun gila ala mereka. No way! Jadi, biar pun kita kelas kroco, enggak gableg duit, jangan sampai terjebak dalam pusaran bentuk apa pun hal begituan. Nyari mati namanya. Biar saja mereka gila karena mereka punya duit dan kedudukan, mereka bisa selamatkan diri mereka sendiri, jika harus beruntung tidak mati karena OD. Sementara kita yang kroco nyemplung begituan, tidak akan pernah ada jalan selamat. Mau lewat jalan hijrah sekali pun. Enggak!
"Kamu tahu Cong, kadang aku ngerasa Sesil itu misterius banget," kata Coki, seketika langsung membuyarkan segala kecamuk lamunan dan pikiran di kepala ku.
***
Terimakasih non Z, non I dan bro R yang Sudi jadi Nara sumber segala sesuatu tentang drug. I loph U .. YES u can make it through.. good job!
KAMU SEDANG MEMBACA
PRECOGNATION
Mystery / ThrillerNovel Thriller Suspense ~ New Adult __________________________________ Bagaimana kalau kamu tiba-tiba tahu rahasia pelik tentang sahabatmu. Dilema menghantui sepanjang waktu. Lalu menyeretmu pada arti .. bahwa hidup ini adalah meja perjudian dengan...