32. Adu Cepat

529 122 40
                                    

Aku tidak siap menghadapi ini, tidak menyangka kejadian bakal seperti ini. Kupikir dia benar-benar (masih) koma. Aku seperti memiliki syndrome aneh jika berhadapan dengan om Harunza sedekat ini. Akal sehat mendadak jungkir balik. Aku seperti cacing kepanasan. Tidak bisa mengontrol diri. Mulutku berkata, Om sudah ... sudah ... tapi tanganku mencengkram erat punggungnya. Rasanya ingin ku benamkan kuku-kuku jari tanganku ke bawah pori-porinya, terbawa bara yang menggelegak.

"Saya tak tahu kenapa tiba-tiba begini," bisiknya di telinga. Napasnya memburu, nadanya menegang kaku. Seperti  bagian tengah selangkangannya yang menekan kuat bagian bawah perutku.

Aku pun tak tahu, Om.

Dengusan napasnya makin membuat kepala ku berputar, pandangan menjadi kabur serta jantung berdegup kencang memacu irama tanganku untuk menyasar bokongnya dan meremasnya kuat-kuat, dia mendesis.

Sekarang dia lah yang mendorong tubuhnya dengan kasar sampai langkahku terhuyung mundur. Tangannya mencabik apa saja yang menghalangi dadaku, sampai kancing berjatuhan seperti bunyi denting yang indah dan bergema. Tangannya ... Oh tidak jangan di situ ... rasanya aku mulai gila sekarang ... tolong ... Aku melolong dalam jeritan panjang di dalam hati, tidak mungkin ada yang bisa mendengar, apalagi  menolong. Tapi apakah aku memang butuh pertolongan?

Bunyi serupa alarm terdengar melengking lirih tapi tajam menembus napsu yang memburu. Satu-satunya bunyi yang akhirnya sanggup menghentikan "baku hantam" kami. Kepala Om Harunza menengok ke arah meja CCTV, di mana terdapat satu laptop terbuka aktif. Om Harunza mengecup dagu ku, lalu berlari ke arah meja. Gerakannya membuat bajunya berkibar memperlihatkan punggungnya yang kokoh, serta otot bokongnya yang padat.

Aku terpaku memandanginya dengan sisa getaran yang masih berdenyut-denyut. Semakin lama denyutan semakin pelan, lalu lenyap. Kaki ku terasa lunglai, aku terpaksa menyenderkan tubuh ku pada ranjang perawatan tak jauh dari tempatku berdiri. Sudah sedekat ini, tapi dia malah berlari menjauh. Aku mendesah kecewa dengan suara amat lirih. Ku tampar pipiku. Perlahan suasana kacau dalam diriku mulai mereda.

"Ya Tuhan," desis Om Harunza sambil menutup mulutnya.

"Ada apa?" sahutku mendadak memiliki energi dan kesadaran yang kembali utuh.

Tergopoh aku mendekat sambil sibuk merapatkan baju ku yang sudah tidak bisa dikait lagi, selain hanya menggunakan tangan dengan memegangi tepi baju yang sudah kehilangan kancingnya.

Ah, rupanya hanya sebuah file dokumen yang dikirim lewat surat elektronik. Rasa penasaran membuat kepalaku makin condong ke depan, agar bisa melihat dokumen yang terpampang dilayar lebih jelas lagi.

"Astaga, jadi ini!" pekik ku.

"Kamu tahu tentang ini?" Om Harunza menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Kepalaku hanya mengangguk tanpa berkata-kata.

Saat itu aku rasanya ingin lari saja, keluar dari ruangan ini dan pergi. Bukan! Ini bukan rasanya ... tapi aku sungguh sungguh sedang berlari ke luar ruangan sambil tanganku melipat baju bagian depan serapat mungkin. Aku terus berlari menyusuri lorong perawatan VIP menuju pintu keluar.

Anehnya, pintu keluar terlihat berkabut dan terasa makin jauh saja. Padahal aku sungguh sungguh berlari mendekat ke situ. Belum lagi kabut yang makin lama makin tebal, sampai nyaris menutupi pandangan. Pintu di depan sana juga dipenuhi kabut. Kini hanya sebagian kaca-kacanya saja yang terlihat. Aku makin cepat berlari, tapi kabut di depanku langsung mengurungku. Semua jadi bias dan serba putih. Tubuhku seperti diselimuti kabut. Aku kebingungan.

"Cong ... Cong ..."  Samar kudengar orang memanggil. Makin lama makin keras, "Cong ... Cong!"

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi, dan rasanya sakit.

PRECOGNATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang