Maafkan segala typo dan kesalahan lain, belum bisa edit.
*Aku putuskan lewat reruntuhan tembok saja. Malas kalau harus berjalan memutar gedung, lewati trotoar, lalu hadapi satpam dengan segala prosedur tetek bengek untuk sampai di lantai sebelas. Dari area kolam renang pasti lebih mudah--biasanya ada lift langsung buat penghuni, jadi jelas lebih praktis lewat kolam renang.
Ternyata eh ternyata tak semudah itu bambaaaang, aku kebingungan mencari pintu liftnya. Dari kolam renang aku masuk pintu kaca yang ternyata ruangan gym. Sempat keluar lagi, melalui koridor samping, tapi mentok tembok, tidak ada apa-apa selain pintu bertulis only staff. Pasti ruang atau kantor pengurus kan? Kalau aku nekat masuk, jelas akan berhadapan dengan prosedur. Terpaksa balik lagi ke ruang Gym dan kembali bingung. Sekali lagi kuamati, barang kali ada yang luput dari mata. Ada tiga pintu di sini, dua sudah ku cek, satu toilet cewek, satu lagi toilet Cowok, tinggal satu pintu lagi belum ku cek. Tadinya kupikir semacam ruang staff juga, ternyata ...
"Hei!" teriak seorang cowok dengan mata terbelalak di depan sebuah locker, sedang ... telanjang!
"Maaf!" teriakku. Benar-benar teriak karena kaget. Buru-buru kututup pintu dan lari ke arah tangga. Terus naik tanpa berani menoleh.
Sampai diujung tangga, dengan nafas tersengal, aku istirahat sejenak memegangi lutut. Barulah aku sadar kalau ujung tangga ini adalah tempat yang kucari-cari. Yep, lift itu ada di sini. Bangke!
Koridor apartemen ini ternyata luas, lebarnya sekitar dua meter, dilapisi karpet bagus dan kelihatan mahal, membuat kaki orang sepertiku merasa minder dan tak tega untuk menginjaknya. Dindingnya berhias wallpaper motif abstrak, warnanya abu terang. Lampu lampu dekoratif makin menambah kesan mutahir dan elegan. Belum lagi pintunya yang terbuat dari kayu mahal, kelihatan kokoh. 1107, ini dia pintunya!
Tak menunggu lama sejak kutekan bel-nya, Om Harunza sudah menyambut dengan bentangan tangan, mempersilakan aku masuk. Begitu kakiku melangkah masuk, semampunya aku menahan diri untuk tidak berdecak kagum melihat keindahan interior ruangan bergaya studio ini. Mungil, tanpa sekat tembok, hanya partisi partisi bergaya minimalis sebagai garis batas antara satu ruang dengan ruang lainnya. Sempurna!
"Mau kubuatkan minuman?" ujarnya sambil melenggang ke bar, dengan dua bangku tingginya yang mewah.
"Nggak usah, nggak apa-apa Om." Ketara sekali nada gugup dari suara ku ini. Dih.
"Setidaknya saya tahu ada teh mint di sini," desaknya. Mimiknya jelas tak menginginkan penolakan.
"Jika tidak merepotkan Om, terima kasih."
Om Harunza terlihat lihai menggunakan alat dapur, dari mulai menjerang air, sampai menyiapkan segala sesuatunya. Kupikir orang-orang kaya akan terlihat canggung dengan hal remeh seperti itu. Bayangan ku mereka pasti tipe orang orang yang terbiasa dilayani.
"Keberatan jika kita ngobrolnya di situ?" Kepalanya menunjuk sudut ruangan dengan dua single sofa dekat jendela balkon, kupikir itu ruang keluarga.
"Angin malam ini terasa menggigit, ya nggak, sih, tapi tenang, pintu balkon akan tetap saya biarkan terbuka."
Aku diam saja, tidak tahu harus setuju atau tidak. Anehnya langkah ku malah mengekor langkahnya. Aura Om Harunza harus ku akui lumayan membius dengan segala ketenangan dan ketampanannya. Dan tata lampu di sini — tidak terang, juga tidak redup, seperti memaksa ku merasa nyaman. Apalagi setelah tubuh ku terbenam di sofa yang maha empuk ini ... Beuh!
"Sampai mana ya tadi kita terputus?"
"Putus?"
"Obrolan di telepon tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRECOGNATION
Mystery / ThrillerNovel Thriller Suspense ~ New Adult __________________________________ Bagaimana kalau kamu tiba-tiba tahu rahasia pelik tentang sahabatmu. Dilema menghantui sepanjang waktu. Lalu menyeretmu pada arti .. bahwa hidup ini adalah meja perjudian dengan...