F I F T E E N [Repost]

243 71 16
                                    

     MENCENGANGKAN rasanya bisa menghirup udara segar, merasakan desir angin, detak jantung dan darah yang menderu bersama dengan keringat, lebih mencengangkan lagi bahwa saat ini aku melompat dari satu dahan, ke dahan yang lain mengikuti Avgustin.

     Aku mereguk setiap menit kebebasan ini dengan sukacita. Merasakan dengan sepenuh hati bagian alas dari sepatuku yang berkerut--mencengkram, serta meregang untuk melepas sesuai dengan gerakan melompat dan mendarat.

     Aku pernah mengikuti pelatihan yang menggunakan teknik mirip seperti ini di Institut. Salah satu dari mata pelajaran wajib calon Elite Aviator. Namun rintangan yang digunakan saat itu bukanlah pohon-pohon sewarna merah delima raksasa yang menjulang tinggi. Akan tetapi gedung-gedung pencakar langit, menara pengawas, atau kalau sedang beruntung kami akan berkompetinsi untuk bisa mencapai puncak bianglala di kawasan hiburan Solo II, ditonton sekian banyak orang--terutama anak-anak yang dengan polosnya bersorak dan menjerit apabila ada salah satu dari kami hampir terjatuh karena saling singgung.

     Di sini tidak ada tepuk tangan dan audiens yang menganggu konsentrasi. Hanya ada angin serta bunyi tubrukan sepatu dengan dahan kayu keras. Aku takkan pernah menyangka bisa merindukan momen yang dulunya kukira menyebalkan. Mau tak mau mendadak resah oleh kekosongan itu.

     Di depan sana, rambut merah panjang Avgustin yang dikepang berayun-ayun mengikuti momentum gerak tubuhnya. Aku bisa saja menyusul dia dengan mudah. Di Institut aku merupakan siswa tercepat ketiga dalam urusan mengejar musuh, tapi kali ini bukan saatnya untuk berkompetinsi. Lagi pula aku tak tahu arah tujuan yang mesti kami tempuh.

     Namun karena sudah tak tahan, aku memperlebar jarak lompatan untuk bisa berada di sebelah Avgustin. Berteriak padanya. "Kau berencana membunuhku, bukan?"

     Satu ranting luput dari perhatian Avgustin, ranting itu menampar wajah Avgustin dengan keras, dia hampir-hampir terjengkang karenanya. Namun dia dengan cepat menguasai diri, terjaga keseimbangan karena bantuan dari sepatu yang dia pakai. "Aurelion Dearth!" tegurnya, kali ini matanya dia fokuskan ke depan.

     Tak ingin bernasib serupa, aku segera mengikuti teladan Avgustin. "Dearth?"

     Jawabannya datang secepat aku bertanya. "Itu nama belakang kita yang sesungguhnya."

     Aku menggapai dahan yang melintang seukuran paha di hadapanku, mencengkram lalu melompat di atasnya secepat mungkin. "Bagaimana dengan Withttaker?"

     "Nama karangan," dengus Avgustin.

     Oh. Aku mau tak mau meringis. Bodoh benar aku tak menebaknya sedari awal. Untuk meredakan rasa panas yang membakar, aku cepat-cepat bertanya, "Jadi apakah masih lama?"

     Kali ini Avgustin tak segera menjawab, dia mengambil jeda sebentar. "Sekarang kita mesti turun, dan jangan bertanya kenapa."

     Avgustin hampir terkekeh.

     Aku hampir menyeriangi.

     Namun kami berdua segera berhenti tepat pada waktunya, kembali menyadari bahwa ada celah tak kasat mata di antara kami. Celah yang takkan bisa diperbaiki dalam sehari.

     Avgustinlah yang memijak tanah lebih dahulu, mendarat dengan sempurna. Baru kemudian aku menyusul beberapa langkah di belakangnya--sengaja menjaga jarak. Saat aku menengadah, semua terlihat besar dan asing. Aku merasa seperti bakteri dalam sel dengan pohon-pohon raksasa, semak belukar setinggi pinggang, berikut udara yang asing.

     Di saat aku kesusahan menyingkirkan semak belukar yang menghalangi, Avgustin justru melenggang dengan santai, bahkan terkesan tak terganggu sama sekali.

T R A I L B L A Z E R  [COMPLETED] | SEGERA TERBIT!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang