8

6 3 0
                                    

Rama terdiam setelah aku menangkap basah ia yang sedang memandang fotoku sewaktu kecil. Dari awal aku sudah curiga bahwa sebenarnya ia mengenalku, terpintas olehku meski sedikit—kalau aku pernah mengenalnya, entahlah aku sendiri bingung.

"Eh eh, kenapa, nih? Gak jadi ke taman?" Tanya Joshua mendekat ke arahku. Aku memandangnya, lalu tersenyum. "Yuk, Josh. Ram, lo gak ikut?" Tanyaku ke arahnya, dia mengangguk lalu berjalan di belakang kami.

Sesampai di taman, aku dan Joshua langsung saja duduk di tikar yang sudah dibentang. Disana ada cemilan yang sudah disediakan Bibi tadi.

Aku memandang ke arah bunga mawar yang mekar di dekat lampu.

"Wah, bibit bunga mawar yang kita tanam udah mekar aja." Joshua memandang takjub bunga-bunga itu. Aku ikut tersenyum, kalau dipikir-pikir, Joshua ini selalu ada untukku, ia tak pernah tak dekat denganku, berhubung kami bersahabat entah dari kapan, hanya mengalir seperti air.

"Makasih ya, Josh." Kataku dengan mata berkaca-kaca menatap bunga, Joshua melirik ke arahku begitupun Rama.

"Kayak sama siapa aja lo, jangan mewek gitu, tambah jelek!" Ejeknya sambil memeletkan lidah, aku memberenggut kesal dan memukul bahunya.

"Ya Allah, selamatkanlah hamba dari manusia yang kasar ini." Ia berdoa, aku tertawa mendengar itu.

"Kalian pulang aja, kan naskah udah selesai." Kataku, Rama mengangguk sedang Joshua menggeleng.

"Gak ah, nanti aja, gue malam pulangnya." Kata Joshua, lalu kepalanya ia baringkan di pahaku. Rama beranjak dari tempatnya duduk, "Saya pulang dulu, assalamualaikum."

Aku dan Joshua mengangguk, "Hati-hati, Ram." Lambaiku padanya.

"Eh, Kei. Lo gak ngerasa aneh apa sama dia?" Tanya Joshua, aku mengelus kepalanya, "Aneh gimana?"

"Dia pendiem banget tau, merinding gue." Tangannya ia silangkan menutup dada.

"Emang kayak lo yang pecicilan?" Kataku menepuk jidatnya.

"Aw! Please, ya. Lo ngaca Kei!" Ucapnya kesal. Aku tertawa melihat ekspresinya.

"Eh, Kei. Sabtu ke Orofi Cafe lagi, yuk?" Tawar Joshua, aku mengangguk kecil. "Josh, gue mau mandi dulu, ya, lengket nih badan gue."

Joshua memposisikan dirinya menjadi duduk, "Oh iya! Hari ini Papa gue ultah, duh kok gue bisa lupa, ya?" Ia segera beranjak masuk ke dalam lalu aku menyusulnya.

Joshua mengambil kunci motornya, "Kei, gue pulang dulu, ya?" Katanya. Aku mengangguk.

"Btw, selamat ulang tahun buat Papa lo." Joshua mengangguk, ia pamit pulang dan menaiki motornya. Setelah ia pergi, aku duduk di teras depan, lalu menangis pelan.

"Kapan Papa bisa kesini dan ngelihat keadaan Kei? Kei kangen Papa, hari ini Papa ulang tahun, dulu, kita bertiga sering makan nasi uduk untuk ngerayain ulang tahun Papa, tapi sekarang gak lagi. Kei pengen ngerasain punya Papa lagi." Aku menangis tersedu-sedu sembari menutup wajah dengan kedua tanganku.

"Saya gak suka lihat perempuan nangis." Aku mendongak menatap Rama, cowok itu sekarang tengah berdiri dihadapanku. Lalu ia berpindah posisi dan duduk di sampingku.

"Menangis gak akan pernah bisa menyelesaikan masalah." Katanya.

Aku menyelanya, "Menangis kadang bisa bikin kita lega."

Dia mengangguk, "Nangis aja, saya biarin."

Aku kembali menangis, tak bisa kutahan penderitaan yang selama ini aku alami, aku hanya manusia, hanya perempuan yang lemah dalam hal perasaan, aku terlihat kuat dan tangguh di depan, padahal jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin menangis.

SECRET ADMIRERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang