Adnan Navi Aidan.
The most wanted at Pattimura High School. He's smart and good looking. But unfortunately, he's not a very good person.
His friends used to call him, "Bad boy."
And although he's a bad boy, he loves animals, by the way.
Galena.
Awalnya gue pikir dia cuma seseorang yang kalo ngomong tanpa pikir panjang. I mean, dia gak peduli kalo orang yang dia ajak bicara bakal sakit hati atau gak, bakal suka atau malah sebaliknya. Yang terpenting adalah, dia udah bicara, mengutarakan isi dari hati dan juga pikirannya. Mau siapapun yang mendengar, itu bukan urusan dia.
Egois?
Gue juga awalnya mengira dia begitu. Seseorang dengan rasa egoisme yang tinggi. Ambisius yang berlebihan sehingga membuat gue gak heran kalo dia hanya mempunyai satu teman.
Dia juga adalah tipe seseorang yang gak pernah mau mengucapkan maaf saat dia berbuat salah, katanya, kalo dia berbuat salah sama seseorang, berarti seseorang itu emang pantes untuk menerimanya.
If you're thinking the same as like i'm thinking about her. She's actually a bad person.
Thanks, for being a bad person too.
Karena nyatanya, setelah berbagai macam hal yang terjadi antara gue dengan dia, gue sadar bahwa keburukan yang ada di dalam dirinya gak semuanya patut untuk dianggap salah.
Terkadang, dalam hidup, lo emang harus bersikap egois. Bukan dalam artian buruk, tapi sebagai bentuk pertahanan diri agar lo gak mudah tersakiti. Sebagai cara untuk membuat sesuatu yang menurut lo sangat berharga tetap tinggal, gak pergi atau menghilang.
Lo juga harus mengungkapkan apa isi hati lo. Bukan ke sembarang orang, tapi kepada seseorang yang membuat lo merasa kaya gitu. Tujuannya adalah supaya lo gak stres karena memendam rasa yang gak enak, membuat seseorang itu menyadari kesalahannya dimana, juga untuk memperkecil hadirnya dosa.
Kan lo ga nyadar, kalo kesel, marah atau yang lainnya, mulut sama hati lo suka ngomong kotor segala isi kebun binatang dibawa semua.
Ye kan? Ngaku lo!
Pertamanya juga, gue menentang hebat kalo kata 'maaf' hanya diucapkan kepada seseorang yang emang pantes menerimannya. Terus apa kabar sama orang yang nggak pantes? Apa selamanya dia nggak akan pernah mendengar kata maaf dari seseorang juga memaafkan seseorang?
"Emangnya lo tau orang yang pantes atau kaga? Lo tau ciri-cirinya? Lo tau perbedaannya?" Tanya gue hari itu. Saat dia nyiram muka Shinta—mantan gue yang gue lupa ke berapa— dengan sambal. Bukannya minta maaf, dia malah nyelonong pergi tanpa sepatah katapun.
"Nggak," jawabnya yang langsung membuat gue tercengang.
Gila nih orang.
"Terus kalo lo gak tau, kenapa—"
"Nav," ucapan gue terputus ketika dia memanggil nama gue untuk pertama kalinya. "An apology is only spoken for someone who deserves it. Bagi gue, maaf gak selamanya harus lo ucapkan ketika lo berbuat salah. Karena apa? Karena bisa jadi lo berbuat sesuatu yang bener tapi salah untuk orang lain, padahal orang itu belum tentu tau masalah lo yang sebenarnya. Mereka cuma menganggap lo udah berbuat salah, tanpa mencari alasan dibalik lo berbuat kesalahan tersebut."
Gue masih gak habis pikir. Bukannya gue gak mengerti, tapi kenapa bisa dia berpikir kaya gitu?
"Jadi menurut lo, tindakan lo sama Shinta tadi bukan sebuah kesalahan?"
Dia diam cukup lama, menatap gue dengan sorot yang sulit gue jelaskan, tapi perkataan yang keluar dari dia setelahnya, entah mengapa membuat tubuh gue kaku untuk sesaat, "Ternyata lo termasuk orang-orang yang gue sebutin tadi ya, Nav. Lo cuma menilai, berpendapat dari apa yang lo liat, bukan alasan dibalik semua itu bisa terjadi."
"Then, explain it to me."
"Buat apa? Toh, lo udah men-judge gue dengan pribadi yang buruk."
"At least, I can changed my mindset about you."
Dia mendengus, "Terserah lo mau nilai gue gimana. Baik atau buruk, gue gak peduli. Gue hidup bukan berdasarkan penilaian dari orang lain."
Setelahnya, dia pergi. Gue menatap punggungnya yang lama-lama mengecil. Yang terlintas dipikiran gue saat itu adalah 'kenapa?'
Kenapa lo kaya gitu?
Kenapa lo bisa diluar ekspektasi gue?
Kenapa lo berbeda?
Beberapa hari kemudian, akhirnya gue mengetahui penyebab dari kejadian tempo lalu. Riri—teman satu-satunya— udah menjadi salah satu korban bullying komplotan Shinta. Dia di siram air panas sama dayang-dayang Shinta karena gak sengaja nginjek sepatu limited edition ketua mereka.
Mungkin kalo gue jadi dia, gue akan melakukan lebih daripada nyiram sambel diatas rambut Shinta.
"Jadi itu alasannya?" Dia diam, "Kenapa gak Riri aja yang langsung bales, kenapa harus lo?"
"Apa lo pernah merasa gak bisa? Bukan dalam artian denotasi, tapi lebih mengarah pada rasa takut yang berlebihan?"
"Maksud lo?"
"Riri bukan tipe orang yang bisa selugas gue. Dia orang yang lebih milih diem, tapi selamat, masalah selesai, dan terlupakan dengan cepat," dia menjeda ucapannya sejenak, "Dia takut, Nav. Dia takut kalo dia ngebales, Shinta bakal ngelakuin hal yang lebih dari yang dia kira. Dan gue gak bisa biarin itu."
"Kenapa lo sampe segitunya sama dia?"
"She's the only friend I have."
Dari situ, gue mengerti, bukannya dia gak tau, tapi dia nggak bisa, dia nggak tau cara menjelaskannya ke gue, karena semua itu terlalu rumit, hingga yang bisa gue lakukan adalah menilainya sendiri siapa yang berhak atas kata maaf itu sendiri.
Galena.
She's totally different than I thought before.
***
Ditulis saat sedang sedih.
Sebab, jerih payah yang gue lakukan tanpa letih.
Dianggap tidak ada artinya sama sekalih.Akhiran ih semua, kan?
West Java
2020, February 16th.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
Teen FictionAwalnya mereka hanya dua orang saling mengenal namun tidak pernah bertegur sapa. Rumah bersebelahan namun jarang dalam lingkup yang sama. Bersekolah di sekolah yang sama namun terasa seperti di dunia yang berbeda. Galena tidak tau apa yang salah den...