G r a v i t y 3

85 7 0
                                    

Galena
Want to be an independent woman.

Beranjak dewasa, gue pernah mempunyai satu keinginan -entah karena terlalu banyak baca buku happily ever after, atau karena gue berharap hidup gue seindah film disney yang selalu berakhir dengan bahagia- Keinginan gue waktu itu adalah mempunyai masa SMA yang penuh warna sehingga hidup gue yang terlalu monoton nggak keliatan membosankan amat.

Meskipun kadang imajinasi nggak pernah sejalan sama realita, setidaknya gue patut bersyukur. Walaupun bukan cowok tampan most wanted seantero sekolah, tapi cukup dengan kehadiran Riri di hidup gue, udah membuat kisah SMA gue nggak menyedihkan banget.

Riri Prawita.

Disaat semua orang membenci gue karena sifat gue yang menurut mereka menyebalkan, menjadi satu-satunya orang yang menepuk bahu gue ketika gue duduk sendirian di belakang sekolah.

Menjadi satu-satunya orang yang mau sekelompok sama gue ketika semua orang lebih memilih mengolok-olok gue.

Menjadi satu-satunya orang yang lebih memilih tinggal di kelas menemani gue makan, alih-alih pergi bersama teman-temannya.

Dia emang nggak ngomong apapun, tapi itu sangat cukup bagi gue.

Karena dengan kehadirannya, gue nggak pernah merasa sendirian sekalipun dunia membuang muka kepada gue.

Kelas 10, SMA yang awalnya gue kira adalah masa paling indah, malah berubah jadi malapetaka.

Kelas 11, waktu dimana gue berusaha mencari jati diri dengan berusaha intropeksi diri, bersosialisasi, dan merubah diri sesuai penilaian orang lain.

Kelas 12, gue memutuskan berhenti. Berhenti dari segala kepalsuan yang selama ini membuat gue menderita. Berhenti dari semua rasa peduli terhadap penilaian orang lain kepada gue. Berhenti jadi orang lain hanya karena sebuah pengakuan yang amat sangat tidak mendasar.

Saat seseorang melakukan perubahan hanya demi sebuah pengakuan, terluka dan kehilangan jati diri yang pada akhirnya mereka dapatkan.

Sama.

Seperti gue.

Peduli kepada seseorang dengan berharap mereka akan memperdulikan gue juga, merubah sifat yang bertolak belakang dengan kepribadian asli gue hanya agar mereka nggak menganggap gue sebelah mata lagi, tapi nyatanya, bukan pengakuan yang gue dapatkan, justru mereka malah menggunakan kesempatan itu untuk memanfaatkan gue.

Mereka dateng kepada gue, bergantian, ketika mereka merasa perlu.

Setelah itu,

Lenyap.

Tanpa sisa.

Mereka pergi, meninggalkan gue.

Dan gue, tetep sendirian pada akhirnya.

Setelah peristiwa penuh drama kemarin, tiba-tiba, tanpa ada kejelasan, satu-persatu orang menghampiri gue untuk meminta maaf. Gue mengerjap bingung, bukannya nggak suka, tapi kenapa mendadak banget? Gue bahkan belum mempersiapkan diri untuk menerima kejadian kaya gini.

Belum mempersiapkan hati supaya nggak kembali disakiti. Bisa aja kan mereka sekarang berkamuflase untuk menyakiti gue lebih dari kemarin?

Bahkan saat Nana menghampiri gue untuk menjadi orang yang pertama meminta maaf, gue justru memandangnya aneh, "Ngapain lo?" gue melirik tangannya yang terjulur, "Mau minta duit? Sorry, hari ini gue gak bawa duit lebih."

Gue bisa mendengar suara tawa yang berasal dari belakang tubuh Nana. Anisa, seseorang yang menertawakan gue dan menatap gue dengan geli.

Apa ada sesuatu yang lucu sama muka gue?

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang