Navi
He lost everything he had and tried to bring it all back.Rumah.
Waktu semua orang bilang rumah adalah tempat untuk berpulang, lain hal dengan gue yang mendefinisikan tempat itu sebagai arena petualangan. Dimana gue mencari, terus mencari, gak berhenti, meskipun gue lelah, hanya untuk menemukan akhirnya.
Titik temu,
Dari arti rumah sebenarnya.
Setiap temen-temen yang nanya kenapa gue selalu memilih untuk menginap dirumah mereka alih-alih rumah gue sendiri, gue selalu menjawab,
"Sekalian silahturahmi, soalnya umur gak ada yang tau. Siapa tau besok lo mati,"
Mereka cuma ketawa. Nggak sakit hati apalagi ngejulid kaya cewek. Kadang gue bersyukur terlahir cowok, gak gampang baperan cuma karena masalah sepele. Beruntungnya lagi gue dikeliling sama temen-temen yang gak memandang gue siapa, dari mana, kaya atau nggak. Semua berkumpul, tanpa memandang kekurangan apapun.
And i'm so glad for that.
Seenggaknya, dengan hadirnya mereka, ada yang membuat gue merasa nggak sendirian, saat perasaan itu selalu menghantui gue di tempat yang biasa orang-orang gunakan untuk mereka tinggal.
Hal yang paling membuat gue males pulang ke rumah adalah ini,
Perasaan Kosong.
Gak ada yang spesial untuk gue rasain selain itu.
Satu-satunya alasan kenapa gue tetep pulang walaupun tempat ini nggak memberikan kesempatan untuk gue merasakannya,
Cuma karena dia,
Seseorang yang sedang menatap gue sendu di atas kursi rodanya, tersenyum lebar seakan meyakinkan gue kalo 'ini' gak selamanya.
Gue mendekatinya. Nggak ada lagi hal yang gue pedulikan di dunia selain sosoknya,
"Mama..."
"Kenapa di luar?" Mau selama apapun gue di luar, bahkan gak pulang, nyokap akan selalu menjadi orang pertama yang gue lihat saat pintu pagar terbuka.
Menyambut gue dengan senyum hangatnya.
Seolah kepulangan gue adalah sesuatu yang harus dia lihat sebelum semuanya menghilang.
Perasaan bersalah selalu ada, saat melihat beliau tanpa lelah menunggu gue pulang, cuma buat menanyakan, "Kamu udah makan?"
Semasa kecil, gue jarang makan kalo nggak nyokap yang selalu ngingetin. Pekerjaan membuat dia nggak ada waktu untuk mengenal anaknya lebih jauh. Mengobrol pun bisa terjadi barang sekali dalam seminggu.
Karena ya itu, nyokap terlalu sibuk, dinas ke luar kota nggak pernah absen untuk dia lewati.
Gue tau, semua jerih payah yang nyokap lakuin buat kebaikan gue, tapi nggak menutup kemungkinan, lubuk hati gue yang terdalam selalu merasa kecewa,
Waktu nyokap untuk kesekian kali mengingkari janjinya kepada gue karena tiba-tiba ada urusan dikantor yang mengharuskan dia lebih memilih menyelesaikannya daripada menghabiskan waktu bersama gue.
Dan lagi-lagi, gue harus memendam rasa kecewa dengan berusaha memakluminya.
Tapi ternyata, usaha yang gue lakuin gak bertahan lama.
Puncaknya saat nyokap berjanji mengambil rapot gue untuk pertama kalinya setelah selama ini selalu diwakilkan sama tetangga. Waktu itu umur gue 12 tahun, nyokap berjanji akan datang ke sekolah karena hari itu sekaligus merupakan acara perpisahan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
Teen FictionAwalnya mereka hanya dua orang saling mengenal namun tidak pernah bertegur sapa. Rumah bersebelahan namun jarang dalam lingkup yang sama. Bersekolah di sekolah yang sama namun terasa seperti di dunia yang berbeda. Galena tidak tau apa yang salah den...