Tiga

8 0 0
                                    

   Gilsha menatap beberapa orang yang mulai memasuki arena balapan. Biasanya, dia yang berada di arena itu, dan mendapatkan gelar juara. Tapi sekarang berbeda, ia tak lagi bisa ikut balapan. Yang hanya bisa ia lakukan adalah berdiam diri menyaksikan dipinggir arena bersama dengan para penonton lain.

“Sha, astaga...gue cariin lo, kemana-mana. Ternyata lo, ada disini.” ucap Diky, yang datang entah darimana.

“Gue gak bisa ikut balapan lagi, dik. Motor gue udah disita. Bahkan ke sekolah aja, gue naik angkot. Sial banget kan, hidup gue.”

Diky tersenyum, mengusap bahu Gilsha lembut. “Lo harus percaya, kalau semua yang dilakukan sama papa, lo, itu semata-mata karna dia sayang sama, lo!”

Gilsha menetap tajam Diky. “Gak usah sok tau. Papa gue, itu gak pernah sayang sama gue. Dia ngelakuin itu semata-mata untuk menjaga imagenya. Mana mau sih, seorang pengusaha kek dia punya anak macem gue. Bandel iya, pintar juga enggak. Menurutnya, gue itu gak ada baik-baiknya!” ketus Gilsha. Kemudian pergi meninggalkan Diky.

“Sha...Gilsha, lo, mau kemana?” tanya Diky. Tapi percuma, Gilsha sudah terlanjur pergi dan menghiraukan panggilannya.

Diky menghela nafas pasrah. Memang susah jika bicara dengan Gilsha saat cewek itu sedang emosi. Percuma, yang ada malah dia yang menjadi sasaran emosi Gilsha.

***

   Lalu lintas ibu kota terlihat begitu ramai. Banyak orang-orang yang keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan bersama keluarga, atau ngedate bersama pacar. Berbeda dengan kebanyakan orang, Randa justru menghabiskan weekendnya dengan mengendarai motornya mengelilingi kota Jakarta. Sebenarnya Rio dan Ferry, sahabat Randa, sudah mengajak Randa untuk weekend bersama. Tetapi Randa menolak dan malah memilih untuk weekend seorang diri.

Randa sontak memberhentikan laju motornya, ketika atensi matanya tak segaja menangkap bayangan seorang cewek yang cukup familliar, sedang berjalan sendiri di pinggir jalan.

Randa mematikan mesin motornya, berjalan menghampiri cewek itu yang sekarang sedang menatapnya.

“Gilsha, ngapain lo, jalan sendiri, malam-malam begini?!”

“Gakpapa, gue cuma lagi bosen aja,” ucap Gilsha. “Oh ya, kalau gitu, gue duluan ya, bye!” Baru saja Gilsha melangkah, tetapi Randa menahan lengannya hingga ia terpaksa berhenti.

Gilsha menoleh, menatap Randa bingung.

“Ikut gue, yuk!”

“Kemana?”

“Udah, ayo, ikut aja.” Randa menarik Gilsha untuk mengikutinya menuju motor.

Gilsha menatap helm yang disodorkan Randa untuknya. Lalu kemudian menerima helm itu, dan memakainya.

“Ayo,” ucap Randa. Mengulurkan tangannya, membantu Gilsha naik keatas motor.

“Udah?” tanya Randa. Menatap Gilsha dari kaca spion.

Gilsha mengangguk, “Udah!”

Sejurus kemudian mereka pun mulai menyusuri lalu lintas ramai ibu kota.

Gilsha tersenyum dari balik punggung Randa. Matanya tak henti-henti menatap setiap gedung tinggi ibu kota. Bukannya Gilsha kuper, hanya saja Gilsha sangat menyukai suasana malam ibu kota yang dipenuhi dengan gemerlap lampu dari gedung-gedung yang berjejer sepanjang jalan. Memang sih, ibu kota Jakarta terkenal dengan polusi udara dan banjir. Tapi bukan berarti kota Jakarta tidak mempunyai keindahan sama sekali. Dan menurut Gilsha, gemerlap lampu dimalam hari lah yang membuat kota Jakarta terlihat indah. Dan Gilsha, sangat menyukai itu semua.

Bad Girls (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang