Summary: Batas kewarasan Kuroo adalah saat cahaya yang membuatnya hidup, menghilang.
Haikyuu!! © Haruichi Furudate
(tidak ada keuntungan material dalam pembuatan fanfiksi ini)
***
Kuroo membungkuk, nafasnya tersenggal diantara rongga hidung, memaksa pasokan udara mengisi paru-parunya. Serakah, Kuroo menghirupnya dengan serakah seakan tiap tarikannya merupakan napas terakhir dalam hidup.
Pemuda itu habis berlari mengejar kekosongan udara. Finish terlihat sudah lumayan dekat di ujung gang sebagai patokan. Tidak terlihat object makhluk hidup lain selain pohon-pohon dan tanaman di sepanjang jalan.
Menjadi pertama, lagi.
Kini refleks dirinya menolehkan kepala merasa perlu melihat kebelakang.
Kosong.
Bukan hal baru sebenarnya, tapi setiap Kuroo melakukan kebiasaan itu sisi dari dirinya berdenyut nyeri. Selumbar kesendirian tidak mampu ia tahan hingga kedua lutut itu menabrak aspal frustrasi.
Pada saat awal memang menyenangkan menjadi yang pertama. Dunia menyoraki penuh rasa bangga hingga terhasil sabit tengil miliknya—senyum itu mengesalkan bagi siapapun yang melihat—namun sekarang itu bukan hal yang membuat kupu-kupu berterbangan di perutnya.
Pertama bersama sepi. Apa yang perlu di banggakan akan hal itu selain mengasihani diri?
Kuroo memikirkan posibilitas jika ia berhenti, lalu lintas temu malah mengabur semakin jauh. Sikap apatisnya tertahan begitu gelap pada dasar-dasar kepedulian yang mendominasi permainan jiwa.
"Sial."
Kuroo mendorong diri, membiarkan bidang pundak bersandar penuh pada pembatas jalan, menghilangkan peluh terlebih dahulu untuk memberhentikan ejekan rasa lelahnya.
Tarikan nafas yang lain.
Matahari masih menyingsing lumayan tinggi di ufuk barat karena malam juga masih enggan untuk menampakan diri, mungkin sekitar 3 jam lagi mereka akan bertukar posisi.
Dalam keterdiamannya manik Kuroo bergulir mencari distraksi lain. Ia melirik tepat kesamping, melihat tinggi bunga hampir menyamainya.
Helianthus, biasanya manusia di bumi menyebutnya sebagai bunga matahari. Itu sedang menatap nyalang pada matahari, menjadikan sinar api sebagai sumber kehidupannya, satu-satunya.
Kuroo mendengus geli. Semesta begitu pintar memainkan skenario memperburuk situasi.
"Kuroo." Nama berseru entah darimana, berdengung melintasi gendang telinga. Dengus geli berubah menjadi kikikan kecil. Ia sedang mentertawakan jiwanya yang mulai tidak waras.
"Bersinarlah terus, aku baik-baik saja." Itu mendesau lirih bersama gemerisik angin.
"Brengsek," gumamnya tertahan, nafas yang baru saja beralunan teratur memberat lagi.
"Berhenti membuat lelucon, Kenma."
Kuroo merangkup seluruh wajah, bersembunyi di balik tangan berharap tidak seorangpun melihat betapa menyedihkannya si nomer satu ini.
Kuroo menggeleng kencang.
Berusaha sekalipun ia tetap gagal.
Kuroo sangat menyedihkan.
Dulu Kenma, seseorang yang tidak pernah Kuroo sangka akan membuatnya menggila adalah manusia penghasil rasa percaya diri bahwa ialah sang Mentari.
Ternyata salah besar, sebab yang butuh cahaya saat ini adalah dirinya.
"Kuroo, angkat kepalamu, bodoh."
Kuroo yakin kewarasannya sudah menghilang saat ia merasakan sentuhan menarik jari-jemari membuka kungkungannya dari wajah. Detik pertama Kuroo bisa melihat manik kuning terang benderang menatap dengan jutaan kerinduan di dalamnya.
"Hai, Helianthus mu pulang."
Salah, Helianthus disini adalah Kuroo dan Mentarinya baru saja menaikan mekar kelopaknya yang meredup.
a/n
hai? Selamat bermalam minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Resonansi Tantrum
Fanfiction- Resonansi dentingan emosi merayap, mengukir tiap-tiap sisi ruang dan menjadikannya corak lukis dari jutaan ribuan cerita. disclaimer: haikyuu!! © Haruichi Furudate 2020 Resonansi Tantrum © @naviolait © @amerhyz on hiatus