He did knows - Iwaoi

538 55 5
                                    

Summary: Memendam dan menjadikan tepukan tanpa balas mampu menyakiti sebegitu dalamnya. Oikawa meyakini diri bahwa rasa sakit itu lebih pantas ia alami daripada benci yang nantinya 'mungkin akan ia terima.

©naviolait

Haikyuu!! © Haruichi Furudate

(tidak ada keuntungan material dalam pembuatan fanfiksi ini)

warn!
lil bit blood in it.

***

Timbunan kelopak pada tangkainya-pun akan mengikis satu-persatu. Pada guguran helaian berwarna merah layaknya darah ter-rajut rasa dengan takut sebagai restriksi antara dua orang manusia yang selalu Oikawa pampangkan jelas dihati namun mengabur jika sudah berhadapan dengan realitas visual diri.

Lagi, kelopak itu gugur lagi.

Terlukis merah di telapak tangan bersama beberapa luruhan pelupuk yang warnanya merah menua.

Oikawa pernah percaya bahwa setiap cerita memiliki akhir yang bahagia, namun lucunya lelaki itu kini tertawa sarkas menatap cermin di hadapannya dengan raut yang sangat amat menyedihkan.

Ya, menyedihkan. Selalu seperti itu.

Punggung jemari secara arbitrer memangkas corak merah di sudut bibir, setelahnya membiarkan itu pergi, ikut dengan kucuran air yang memaksa kental darah untuk tidak tinggal disana.

Nafas Oikawa memburu, tulang lehernya mengendur.

Oikawa, hidupnya terlalu penuh lelucon yang dirinya buat sendiri. Berteriak kencang menarik perhatian banyak orang untuk memperlihatkan bahwa ia selalu ceria, baik-baik saja, dan mengesalkan. Itu sudah melekat karena sifat aslinya yang memang harus ia tunjukan di publik tanpa memberi sedikitpun gelagat sisi lain yang menyedihkan.

Lelaki itu pun enggan memamerkan dirinya yang seperti sekarang ini. Oikawa memang pencari perhatian, tapi dia bukan tipe seseorang yang akan menangis tersedu-sedu hanya untuk mendapatkan empati.

Biarkan ini menjadi rahasianya sendiri.

Nafas kembali tercekat, kerongkongan tersumbat akan sesuatu sampai Oikawa menancapkan ujung kuku-kuku guna menggaruk sesuatu dilehernya agar segera keluar dari jalur pernafasan.

Batuk, muntahan, wajah yang memerah serta pelupuk mata yang berair kembali menghiasi refleksi diri dari balik cermin. Rasanya nyawa seperti tercabut begitu perlahan. Oikawa bahkan terisak menahannya.
Kelopak tua lagi.

Ini sudah kelima kalinya untuk satu hari yang bahkan belum memenuh. Semua terjadi begitu sulit untuk dipahami.

Kakinya melemas tidak mampu mengangkut beban sampai akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk dengan pintu-pintu toilet yang terbuka sebagai pemandangan.

Kinerja paru-paru mulai melambat. Oikawa mencoba menormalkan lagi nafasnya berharap semoga serangan yang lainnya tidak datang. Lelaki itu cukup untuk membuatnya nyaris terbunuh beberapa kali hari ini. Bibir memucat, rona merah tidak menghiasi tulang pipi, pupilnya terlihat sayu.

Oikawa menarik oksigen panjang-terheti saat pintu utama yang terbuat dari kayu bertabrakan dengan benda hingga menghasilkan suara cukup kencang. Maniknya melirik sejenak, tidak bergerak seinchi pun karena tenaga terkuras banyak.

"Hei! Oikawa, kau di dalam?"

"Ya..." jawabnya lirih, tidak peduli akan terdengar keluar atau tidak.

Resonansi TantrumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang