Chapter 01 : Ini Masih Permulaannya

199 19 10
                                    

Udara terasa dingin, kicauan burung gereja dipagi hari memainkan melodi merdu seraya mentari pagi hendak mengintip dari ufuk timur.

Langit yang masih berwarna biru gelap menandakan hari baru yang sunyi dikala pagi baru permulaan.

Di sebuah loteng, didalam rumah tua berpondasi kayu seorang pemuda masih tertidur. Mungkin karena udara dini hari atau karena kamarnya yang tak cukup untuk menangkal hawa dingin yang merembes melalu atap dan dinding, pemuda itu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

Meski saat ini dia sudah terbangun karena tak kuat menjaga tubuhnya tetap hangat, tapi rasa malas untuk beranjak dari ranjang tak bisa dia elakkan.

Setelah beberapa saat terdiam dalam posisi yang sama, pemuda itu melempar selimutnya dan beranjak dari tempat tidurnya sambil sesekali menggerutu.

Dia turun dengan langkah kaki pelan menuju kebun belakang yang dimana sebuah sumur berada.

Sambil membawa kain bersih dipunggungnya sebagai handuk, dia melewati dapur yang dimana tidak ada seorangpun disana dan kemudian keluar melalui pintu belakang.

Suara deritan dari pintu yang telah usang itu dia abaikan tanpa perlu menutup pintunya kembali.

Sesampainya disumur, pemuda itu kemudian menimba beberapa air yang lalu dia masukkan kedalam bak didekatnya hingga penuh.

Pemuda itu kemudian melepas kemeja tidurnya dan membasuh muka. Rasa dingin yang menjalar seperti air es dia rasakan yang membuat seluruh indranya mulai bekerja hingga rasa kantuk yang sebelumnya masih terasa perlahan lenyap.

Saat ia sedang mengelap wajahnya dengan kain lap yang dibawa, terdengar seseorang memanggil namanya dari belakang.

"Ah, kamu sudah bangun Verian?"

Verian memalingkan wajahnya menuju pintu belakang yang dimana asal suara itu berada.

Disana, wanita dengan gaun putih santai dan rambut kecoklatan berjalan menghampirinya sesaat mata mereka bertemu sembari membawa sebuah ember.

"Yah, cukup sulit untuk tidur saat pagi hari terasa dingin seperti ini." Ujar Verian sambil mengedikkan bahu.

"Mu, Alexis itu. Seharusnya kau mendapatkan kamar yang layak. Padahal masih banyak kamar kosong di tempat ini, tetapi betapa jahatanya si Alexis itu memberikan sebuah loteng sebagai kamarmu!"

Wanita itu bicara sambil menggebungkan pipinya karena kesal.

"Aha, tidak juga kok. Meski sedikit terasa dingin, tapi aku masih nyaman kok."

Nyaman apanya coba? Yang ada tiap hari aku kedinginan dan malam terasa sulit untuk tidur karena hal itu.

Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Verian mengumpat dalam hatinya menyangkal apa yang ia ucapkan barusan.

Ia menyembunyikan apa yang dia rasakan agar terlihat sebagai anak baik dihadapan wanita didepannya karena rasa hormat.

Meskipun terasa sedikit aneh untuk mengatakan hal yang berlawanan dengan apa yang dipikirkannya karena pada dasarnya ia adalah orang yang bebas, Verian berpikir untuk lebih baik tetap menjaga sikap terhadap pembimbingnya.

Saat Verian menatap kembali wanita didepannya, terlihat jelas matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Namun tidak seperti apa
yang biasa seorang pria lakukan saat melihat wanita dihadapannya menangis, Haku malah tersenyum kecut dan seperti menjaga jarak.

Tapi sebelum hal itu bisa dilakukan, wanita itu lebih dulu melompat dan memeluk Haku dengan erat sembari menangis dan berkeluh kesah.

"Uwaah, kau memang anak yang baik Haku. Seandainya... seandainya... seandainya aku nge*e dulu sebelum kematianku dan melahirkan anak, aku yakin dia akan tumbuh sepertimu. huhuhu..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Heroes From Another World II  - Tulis Ulang Dimulai Dari AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang