Playing with fire

30 7 0
                                    

Aku sudah bersiap mematikan komputer ketika Pak Kas keluar dari pintu dibelakangku sambil menunduk pada ponselnya.

"Gia, kamu pulang sama saya aja. Sudah malam,"ujarnya yang saat ini tengah berdiri di depan mejaku.

"Saya sendiri aja Pak, masih jam setengah sepuluh kok, belum malam banget,"Pak Kas terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin karena nggak terbiasa menerima penolakan. Aku tersenyum canggung lalu bergerak mengambil tas sebelum dia meraih tasku lebih dulu dan menjauhkannya.

Astaga

Apa lagi sekarang?

Apa tampilanku yang berantakan ini belum cukup menunjukkan kalau aku memang betulan sudah capek dan pengen cepet-cepet pulang?

"Kamu pulang sama saya, masih setengah sepuluh yang kamu bilang itu bakalan molor sampai jam dua belas kalau nunggu taksi, gimana?"aku terpaksa mengiyakan ucapannya. Lagian jam segini mana ada taksi yang lewat. Aku sebenarnya berniat untuk jalan ke halte dan menunggu bus disana.

Walau sebagian dari diriku mengharapkan Revan ada di basement dan tengah menungguku sekarang. Aku menyingkirkan bayangan itu cepat-cepat.

Tapi tetap saja, menerima ajakan Pak Kas sama dengan cari mati kalau Revan tahu.

"Udah, kamu tunggu saya disini. Saya kedalam dulu ngambil kunci mobil,"kalau sudah begini mana bisa aku menolak ajakan Pak Kas.

Ah masa bodo lah. Mama bilang tidak baik menolak rezeki. Hitung-hitung aku bisa hemat hari ini. Pak Kas juga bukan orang jahat. Jadi kenapa aku harus khawatir?

Apa aku khawatir?

Tentu saja. Bukan karena Pak Kas adalah pria hidung belang yang mencari kesempatan dengan mengantarkan sekretarisnya ini pulang. Aku lebih khawatir Revan tahu. Karena dia tidak pernah suka aku dekat dengan lelaki manapun. Untuk bekerja sebagai sekretaris Pak Kas yang notabene manager disini saja kami harus bertengkar selama semalam suntuk plus berdiaman selama kurang lebih satu minggu.

"Kita cari makan dulu ya? saya lihat kamu belum makan dari sore. Saya juga agak ngantuk jadi mau beli kopi dulu. Kamu nggak keberatan?" aku mengangguk saja mengiyakan. Semoga saja revan masih sibuk mengurusi berkas-berkas dikantornya.

"Nasi Padang aja nggak papa kan ya? di dekat sini jarang ada restoran soalnya. Takutnya nanti kamu kemaleman pulangnya kalau kita jauh-jauh,"Pak Kas menggaruk belakang kepalanya kikuk. Mungkin takut dikira nggak modal. Padahal aku juga sering makan di pinggir jalan, sendirian pula. Bisa dihitung jari kapan Revan bersedia makan diluar atau sekedar jalan-jalan di taman.

Aku menggelengkan kepala sekali lagi. Mikir apa sih aku ini.

Pak Kas menghentikan mobilnya didepan rumah makan padang yang lokasinya tidak jauh dari kantor. Aku melirik jam di pergelangan tangan ketika melihat antrian yang lumayan banyak pada jam seperti ini. Dan rupanya bossku itu salah menangkap maksudku.

"Sori ya, kalau kamu nggak nyaman gimana kalau kita pindah aja cari restoran?"

"E-eh enggak kok Pak. Saya suka disini, tempatnya juga bersih."Aku tersenyum tidak enak.

"Oh gitu, saya kira tadi kamu kenapa. Yaudah, cepetan pesen biar nggak kemaleman,"Aku mengangguk dan segera berdiri sebelum kata-kata Pak Kas menghentikan gerakanku.

"Oh iya Gi, kamu nggak usah panggil saya Pak. Ini kan diluar kantor, panggil aja Angkasa. Saya berasa bapak-bapak kamu panggil Pak mulu, "ujarnya dengan santai berbanding terbalik dengan aku yang saat ini hanya bisa mengangguk kaku sambil menenangkan perutku yang tiba-tiba saja jadi terasa melilit.

"O-ke, Angkasa."juga wajahku yang tiba-tiba terasa panas ketika melihat seringaiannya.

Anything(repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang