Jealousy

14 6 0
                                    

"Minggu depan kita periksa lagi di rumah sakit lain"katanya memasang raut masam ketika menggandengku di sepanjang lorong rumah sakit.

"Kan aku udah bilang nggak apa-apa, malu kan sama dokternya kamu tadi heboh gitu,"aku masih memasang raut kesal. Dokter jelas mengatakan kalau kakiku baik-baik saja dan tidak perlu di gips. Revan yang sok tau dengan entengnya berkata dokter itu tidak memeriksa dengan baik karena tidak ada tindakan apapun pada kakiku.

"Apa aku bilang kamu boleh protes?"

"Dokter itu sepanjang pemeriksaan melihat apa yang tidak seharusnya dia lihat."aku melebarkan mata. Laki-laki ini memang seenaknya kalau bicara. Bagaimana juga dia bisa memperhatikan sejauh itu? Aku yang diperiksa saja tidak berpikir macam-macam.

Aku jadi memeluknya gemas. Aku tahu dia hanya khawatir padaku. Tapi gengsinya setinggi gunung. Dia tidak akan mau mengatakannya secara langsung.

"Hey, dokter itu kuliahnya mahal loh. Kamu jangan sembarangan,"Revan diam saja sambil memperhatikan kakiku. Aku menyentuh keningnya. Dia menolak untuk disuntik antibiotik. Khas Revan sekali. Tidak lama pasti akan merengek karena sakit kepala dan tidak bisa bekerja.

"Kamu demam, kenapa nggak iyain aja sih tadi dikasih antibiotik?"dia hanya mengangkat pundaknya acuh. Aku mendengus. Dia memang takut dengan jarum suntik, tapi tidak terima jika aku mengatakannya.

"Kamu tunggu disini, "Revan mendudukkanku di salah satu kursi kafetaria rumah sakit. Lalu pergi entah kemana.

Aku memijat kaki kiriku yang tidak di gips. Bukan patah tulang memang, tapi tetap saja rasanya sakit sekali. Apalagi aku mengenakan heels sejak pagi. Benda itu sekarang tergeletak dibawah kursi ketika Revan memaksaku untuk melepasnya tadi.

Sambil menunggu Revan, aku melihat setiap sudut kafetaria yang lumayan sepi. Tenggorokanku kering dan mengutuk siapa saja yang meletakkan kulkas jauh dari kursi pengunjung. Dengan perlahan, kakiku mencoba turun. Aku meringis ketika telapakku menyentuh lantai yang dingin.

Kursi tinggi yang kududuki oleng ketika aku menurunkan kedua kakiku dan tubuhku hampir tersungkur kedepan jika saja tidak ada tangan yang memegang kedua lengan atasku.

"Eh-mbaknya nggak apa-apa?"aku menoleh melihat wajah cowok berumur dua puluhan yang baru saja menolongku. Baru saja hendak mengucapkan terima kasih, tiba-tiba seseorang menepis tangan pemuda itu dariku dengan kasar.

"Pergi kamu."

Aku melihat Revan berdiri menenteng plastik entah berisi apa. Tatapannya menghujam pemuda itu, yang tanpa mengucap sepatah kata, pergi dengan wajah setengah terkejut.

"Ngapain dia pegang-pegang kamu?"ucapnya tanpa menatap mataku. Tangannya sibuk membuka bungkusan plastik yang ternyata berisi sepasang sendal jepit berwarna pink dengan hiasan LOL. Aku menatap geli ketika dia memasangkan keduanya pada kakiku.

"Lucu banget sih, nemu dimana coba?"dia mengabaikan pertanyaanku dan masih sibuk memasukkan heelsku pada kantong plastik yang dibawanya.

"Yang, aku mau minum,"dia mengambilkan sebotol air mineral dan membukanya tanpa suara.

"Udah?"aku mengangguk lalu menyerahkan botol air minumku yang langsung dilemparnya ke tong sampah didekat kami. Tangannya meraih satu lagi kantong plastik yang mungkin berisi makanan. Lalu menuntunku kembali ke mobil tanpa bersuara sama sekali.

Bahkan ketika menyalakan mobil, dia masih betah diam.

"Yang, tadi cowok itu nolong aku. Aku hampir jatoh pas mau ambil minum," Aku berinisiatif menjelaskan kronologi kejadian tadi. Meskipun diam saja, aku tahu tipikal Revan yang sedang cemburu. Dari tangannya yang mengepal, aku tahu dia tengah menahan diri untuk tidak melampiaskan emosinya padaku seperti tiga hari yang lalu. Revan yang meledak-ledak adalah hal terakhir yang tidak ingin kulihat.

"Terserah"

Aku menghela nafas berat lalu mengalihkan mataku pada jalanan lengang.


Anything(repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang