Ends

91 22 7
                                    

(5)
___________________________________

•••

"Ayaaah!"

Mingyu tersenyum lebar saat sang anak menyeru memanggil. Spontan ia berjongkok, merentang tangan guna menyambut putri kecilnya merangsek ke dalam pelukan hangatnya. Minhee menjadi alasannya untuk segera pulang ke rumah, semangatnya di kala menangani tumpukan kesemrawutan pekerjaan yang dilakoni. Minhee adalah satu dari berjuta alasan Mingyu mengenyam manis-pahitnya kehidupan.

"Ibu di mana, Sayang? Kenapa bermain sendirian di sini?" tanyanya sempat melihat anak perempuannya bermain boneka di ruang tengah bersama sang pengasuh.

"Sibuk!" Bibir gadis itu mencebik. "Padahal dali tadi Minhee lihat, ibu belmain ponsel telus."

Inilah yang tidak disukai Mingyu. Miris sekali mendengar anaknya mengeluhkan sikap ibunya yang kadang abai. Ya, sudah seringkali Mingyu menyaksikan Yoonhee begitu tak peduli pada buah hati mereka. Mulutnya sampai lelah menegur, namun tetap tak mengurangi kebiasaannya. Bahkan sejak kelahiran Minhee, wanita itu lebih sering menyerahkan tugas yang harusnya diembannya sebagai seorang ibu ke pengasuh. Dulu ia sempat terbantu dengan kehadiran Bibi Song, namun sejak dua tahun terakhir, wanita baya itu memilih berhenti, tidak tahan dengan perlakuan istrinya yang semena-mena. Berbeda sekali bagaimana cara Sohyun memperlakukan sang bibi selayaknya Ibu.

Dan Ibu Sohyun... Ia harus rela merasakan kemurkaan sang ibu mertua setelah mengetahui apa yang terjadi antara dia dan putrinya. Ia tak bisa selamanya menyimpan bangkai, bukan?
Ia menjadi orang yang paling dipersalahkan atas menghilangnya Sohyun.

Empat tahun berlalu, Sohyun tetap tak menunjukkan batang hidungnya. Wanita itu menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tidak ada seorang pun yang tahu dan bisa Mingyu tanyai sebagai petunjuk keberadaan wanita itu yang sebenarnya.

"Sudah makan?" tuturnya lembut, mengalihkan pikirannya kepada anak semata wayangnya. Minhee menggeleng polos.

"Mau ayah buatkan makanan?"

Binar mata gadis kecil itu menandakan luapan gembira tak terkira. Mingyu dengan senang hati menggendong bocah tiga setengah tahunan itu menuju dapur, mendudukkannya di atas konter.

Hanya makanan sederhana. Sepiring nasi goreng dengan tambahan telur ceplok di atasnya. Mingyu sadar ia tidak begitu mahir dalam memasak. Semenjak kepergian Sohyun, semua urusan dapur dipegang sang asisten rumah tangga. Bohong sekali, apabila ia sama sekali tidak merindukan masakan lezat yang dulu hampir tiap hari mengisi perutnya yang lapar. Pria itu bahkan lupa kapan terakhir kali memakan masakan rumah dengan lahap. Semua terasa hambar, berbeda baginya untuk dikecap walau sesaat. Sadar, bahwa sudut kecil di hatinya kosong. Seakan ada yang hilang dan ia pun tahu pasti siapa yang mampu mengisi.

Awalnya Minhee tampak bersemangat, namun berbeda kali ini, tangannya yang mungil lebih terlihat memainkan kedua alat makannya tanpa minat. Anak itu belum menyentuh makanannya walau sudah terhidang sejak lima menit berlalu.

mingyu mengernyitkan dahi dalam-dalam. "Kenapa tidak dimakan, Sayang?"

"Minhee ingin makan bersama Ibu...." Rasya merengek.

Mingyu yang mengerti kemauan sang anak, mengelus pipi gembil putrinya. Permintaan yang tak bisa  dianggap angin lalu. "Baiklah, ayah panggilkan ibu kemari. Tunggu sebentar sekalian ayah ingin membersihkan diri dulu."

A Love That Never Ends ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang