A Love That Never Ends : Dalam sudut pandang Mingyu___________________________________
•••
Kim So Hyun itu sempurna. Rupa mahakarya yang pernah Tuhan cipta. Jika dianalogikan, ia serupa arzak, permata indah yang Tuhan kirimkan untuk menghiasi kelabunya hidup melalui warna gemilangnya. Ya. Ini berlebihan, tapi aku suka.Memori ini masih tersimpan apik, kala pertama kalinya Tuhan mempertemukan kita. Melalui skenario yang tak dapat kureka ujudnya, aku menemukanmu, perempuan istimewa yang muncul di antara jutaan lalu lalang manusia di bumi. Sempat aku bertanya, mengapa harus Sohyun? Dan aku pun tak menyesali, ketika aku menyadari bahwa sesuatu telah tumbuh di sini—dalam dadaku yang telah terisi—rasa candu menyelusup kian hari semakin menggerogoti.
"Kim Sohyun! Kalau kamu?"
Itulah kalimat pertama, kudengar darinya dan diucapkan terlampau santai bersama uluran tangan yang sama sekali tak memperlihatkan ragu. Padaku yang masih asing dan secara tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Sementara aku justru gegap, tergagap karena keterkejutan. Perinya yang selalu terngiang, acap kali membayang di waktu aku mengawang.
"Min... Mingyu...," jawabku kagok.
"Cuma Mingyu?" Dia bertanya lagi tentang namaku yang kedengarannya singkat. Tidak cukup memuaskan rasa ingin tahunya.
"Yasudah. Aku akan memanggilmu Min atau Gyu."
Kepalaku manggut-manggut. Sebisanya bersikap biasa. Walau panggilan tiga huruf terasa asing buatku.
Lalu, kami pun berpisah. Usai bersobok tanpa tutur basa-basi. Kami hanya dua anak manusia yang kebetulan bertemu, lalu akan saling melupakan. Aku sempat berpikir kisah ini hanya sebuah kunjungan biasa. Hanya sebatas pertemuan untuk mengisi riwayat hidupku. Namun lain, dan terjadi lagi.
Tentulah bukan hujan, bukan senja, kopi, lazuardi, atau kisah klasik pertemuan romansa di halte, perpustakaan, hingga pesta kalangan borjuis sebagai latar pengantar kisah yang terajut. Kita tidak saling bertabrakan seperti dalam sekumpulan drama atau film, tidak saling bertatapan sampai berlarut-larut hingga melupakan situasi sekitar. Pandangan kita pada mulanya biasa. Kita tidak pernah bersinggungan perihal love-hate yang mengharuskan kita beradu mulut saban kali bersua tanpa kesengajaan. Kita justru saling mengulum tawa, sesekali mencuri pandang satu sama lain. Bersikap malu-malu bagaikan remaja yang kali pertama diperkenalkan rasa suka.
Sohyun punya daya tarik tersendiri. Memiliki daya saing di antara banyak wanita sepantarannya. Pikat terbesar Sohyun adalah matanya, yang sering kali bibirnya melengkung, maka otomatis kerutan di sekitar matanya membentuk dua bulan sabit mungil melalui matanya yang menyipit. Bagiku itu adalah yang terindah---mengalahkan ratusan bulan purnama di angkasa. Momen berkesan.Dalam beberapa kesempatan aku tak bisa mengindahkan, bagaimana lucunya perjumpaan kedua kita pada gelaran festival seni rupa anak bulan Juni lalu. Di Galeri Nasional, aku datang sebagai pengunjung yang ingin menikmati pelbagai hasil seni karya anak dari penjuru negeri. Dan Sohyun, entahlah... presensinya yang disibukkan dengan beragam properti harus menahan malu luar biasa atas peristiwa pelik. Terlalu menggelikan bila diingat. Kupikir sosoknya sendiri akan menutup rapat kisah tersebut saking gila kelakuannya yang sukses menjadi bahan seni sesungguhnya.
Tubuhnya yang penuh cat warna-warni. Melebihi acadutnya seseorang yang tengah mengikuti pawai Holi dari daratan Hindustan. Aku sampai berpikir sebenarnya untuk apa sih wanita itu membawa banyak cat air?
Ketika orang-orang bubar, aku memberanikan diri mendekatinya. Saat itu, aku tidak ingin menjadi pahlawan. Aku masih begitu kaku merefleksikan apa yang hendak diperbuat, lebih-lebih terhadap lawan jenis yang baru kukenal belum lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love That Never Ends ✔️
Short StoryUntukmu, yang selalu kurindu... Kenangan-kenangan indah yang sempat terangkai dahulu, bolehkah aku menyimpannya? Mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa cerita kita agar dapat kukenang setiap waktu. Hari-hari dengan mudahnya berlalu, semakin bertamb...