Love

155 28 8
                                    


(2)
___________________________________

"Kamu bahkan merasakan sakit ketika luka berdatangan menikammu. Berhentilah tersenyum, seolah kamu baik-baik saja."

•••
—————

Pov 2
--

Semenjak kejadian tempo hari, hubungamu terasa kian renggang. Sebagai wanita yang memiliki kepekaan rasa, kamu tentu menyadari hal tersebut tidaklah wajar. Mingyu seringkali pulang larut malam, menghabiskan waktu sebentar di rumah dan kembali lagi ke kantor. Kejadian itu terus berulang. Dua minggu ini kamu lebih sering tertidur di sofa. Menunggu kepulangan suamimu dan terjaga di pagi hari, dalam kondisi sudah berpindah ke kamar tanpa menemukan sosok yang mengangkat tubuhmu yang lelap di tengah malam.

Terlalu pagi untuk menggali segala kenangan manis yang dirimu kecap selama ini. Terlalu tiba-tiba tatkala semuanya mengabur seolah itu bukan lagi hakmu untuk dapat menerimanya kembali. Bahkan di suasana pagi yang biasa diisi dengan beragam candaan, sarat kemesraan antara sepasang kekasih yang telah diikat tali suci pernikahan, sama sekali tak meninggalkan jejaknya di atas meja. Kerutan syahdu mulai menitik di wajahmu yang sedu, menyiratkan luka sayatan yang tak seorang pun dapat mengartikannya. Kecuali seorang itu—sosok wanita renta—yang acap kali kamu memanggilnya Bibi.

"Nyonya baik-baik saja?"

Senyummu terukir tipis, lalu menggeleng sesudahnya. Sudah cukup menjawab raut penasaran Hayoung yang tak lalai menatapmu iba. Bukan hal sulit bagi wanita baya itu, untuk mengetahui sendunya wajahmu yang belakangan ini dijajaki mendung tebal.

"Berceritalah, Nyonya. Saya siap menjadi tempat berbagi."

"Terima kasih, Bi. Tentu. Itu sudah pasti. Hanya Bibi yang selalu bisa kuandalkan," jawabmu setengah merunduk sembari mengaduk-aduk makanan di mangkuk yang belum jua menyusuri kerongkonganmu yang tak lagi bernafsu.

Nasi sudah jadi bubur, pikirmu. Perihal luka yang menggempur tak ayal memberikan sensasi sakit tersendiri. Seakan kamu sengaja membiarkannya tumbuh dan terus menyakitimu yang pelan-pelan merapuh.

***

Datang lebih awal menggunakan angkutan umum seperti bus tak jadi soal. Menepikan mobil pribadimu dan lebih memilih menikmati alat transportasi massal. Bagimu itu adalah hal menyenangkan, salah satu keinginanmu yang terasa diajak bernostalgia mengenang masa lalu. Masa ketika kamu belum mengenalnya, masa ketika kamu lebih sibuk memikirkan akan makan apa hari itu atau bergumul bersama setumpuk berkas guna mempertahankan nilai dan beasiswa yang susah payah kamu raih. Masa ketika kamu belumlah mengenal apa itu cinta. Kamu—Kim So Hyun yang sejenak sedang menikmati memori itu, tanpa penyesalan yang menggelegak.

Memakan waktu lima belas menit sampai bus berhenti di tujuan, lekas dirimu berdiri dari kursi sepi, turun terburu-buru seolah ingin menggapai yang lain. Sebuah tempat yang kamu yakini dapat meringankan sesaknya dadamu akhir-akhir ini.

Kakimu mulai melangkah pasti, diiringi wajah ceriamu yang selalu terpajang di tempatmu berpijak kini. Senyumanmu bahkan telah terpatri. Lengkap dengan atribut yang siap mengakali; perihal suasana hatimu yang diguncang badai anomali.

"Pagi, Anak-anak!" Kamu menyapa dengan riang manakala dirimu telah tiba di depan sekumpulan anak-anak.

"Guru Kim datang!"

A Love That Never Ends ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang