(1)
___________________________________"Seharusnya aku sadar sejak awal, bahwa perubahan sikapmu adalah awal retaknya hubungan ini."
•••
—————
Pov 1
-
Sebentuk hati itu menguasai seluruh atensiku. Dalam sekotak gelap, dalam sempit aku meratap. Hanya ringis kesenduan yang kini menetap. Kelopakku tak sempat mengatup, kantukku seakan sirna kala menemukan sebagian hati terpasung di tempat berbeda dan tidak seharusnya.Cincin ini....
"Kamu atau aku yang sebenarnya berubah?"
Lagi-lagi deraian air mata menjadi teman setiaku. Sadar, benda kecil di tanganku tak lagi singgah di jemari manis pemiliknya. Sakit? Tentu. Gelenyar nyeri ini menyeruak terbebang tak kasatmata. Pertanyaan ini tak lepas membayang dalam benakku, dengan segudang tanya, bagaimana bisa dia melepas cincin pernikahan kami? Membiarkannya berdebu dalam beledu.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Pada mulanya, kami adalah pasangan paling bahagia. Mungkin hingga di detik ini, aku bahagia... namun apakah aku masih sanggup mengatakan itu sekarang?
Dan pada akhirnya secara pelan-pelan kuikhlas menghapus kata 'paling', tersebab kini aku sendiri pun tidak yakin, apa aku betul-betul bisa dikatakan bahagia, seiring memudarnya tatapan hangat itu dari dua bola matanya. Binar mata yang selalu berhasil membuatku luluh dalam balut ketulusan priaku—lelakiku—suami terkasihku.Sudah seminggu ini kami tak bersua. Alasannya adalah, tuntutan pekerjaan yang mengharuskan kami berpisah sementara waktu. Aku di rumah sementara dia ... mungkin tengah sibuk mengurusi klien yang pernah dikatakannya sedikit rewel. Mau tak mau suamiku harus melakukan pertemuan hingga ke luar negeri dan tak juga memberi kabar sampai detik ini. Aku tidak marah. Sungguh tidak marah. Namun kali ini rasanya sulit menyembunyikan kecewa. Tidak masalah bila ia lupa mengabari kondisinya yang jauh dari jangkauan. Aku masih bisa memantau melalui sekretarisnya. Lebih dari itu, lebih banyak kecewa yang timbul karena ini pertama kalinya dia melepas cincin kawinnya, bukti pengikat pernikahan kami dan itu terjadi tanpa sepengetahuanku.
***
"Pagi, Sayang!"
Samar bisikan lembut khas itu menyelinap ke ruang gendang telingaku. Suara yang teramat kurindukan belakangan ini. Kupaksa membuka netra yang masih memberat, guna melihat wajah lelakiku. Entah sejak kapan dia berbaring dengan posisi memeluk pinggangku afeksi. Sangat rapat ditubuhku yang meringkuk.
"Kapan kamu pulang?" tanyaku serak. Kulihat matanya masih memejam, namun kuyakin ia sudah terjaga. Justru lengannya yang kekar kian kuat memelukku, memaksa kepalaku agar bersembunyi di dadanya yang bidang. Harum ini, bau badan maskulin yang selalu membuatku tak ingin menjauh lama dari sisinya. Bentuk kenyamanan yang berulang kali ia tawarkan 'tuk kukecap sepanjang waktu.
"I miss you, Dear."
Meski urung menjawab tanyaku, pernyataannya berhasil meninggalkan bekas merah merona karenanya. "Jangan merayu, Tuan Kim. Itu sama sekali tidak mempan buatku!" balasku merengut.
Hanya perlu satu sekon, mata sayunya membuntang sempurna. Seturut dengan ekpresinya yang suram, tangannya tergerak menyentuhi kulit wajahku yang terpaku. Sedikit menipiskan jarak seraya menyelipkan juntaian anak rambut pada belakang daun telingaku. Sebuah kebiasaan baginya dan aku yang tak jarang rakus menikmati usapan jeriji lembutnya yang lampai.
"Aku tidak sedang merayu. Sungguh. Kalaupun iya, hanya ada satu wanita---cuma seorang saja yang akan kugoda. Dan itu kamu, Honey!"
"Bohong!" sentakku berpura-pura kesal. "Aku tidak akan percaya padamu, Mingyu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love That Never Ends ✔️
NouvellesUntukmu, yang selalu kurindu... Kenangan-kenangan indah yang sempat terangkai dahulu, bolehkah aku menyimpannya? Mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa cerita kita agar dapat kukenang setiap waktu. Hari-hari dengan mudahnya berlalu, semakin bertamb...