Sebuah berkas terlempar ke meja. Dio meliriknya sekilas, lalu kembali berpusat pada diary dan buku tahunan milik mendiang sang Kakak. Ia berusaha mencari benang merah, seseorang yang banyak Ditha tulis dalam diary. Itu sangat penting dibanding rapat pemegang saham Atmojo Group. Sungguh, nyawa keduanya di Atmojo Group bukan apa-apa.
Siapa Fella yang Lo maksud, Dit? Dia bukan teman nongkrong dan teman sekolah lo? Dio membatin diiringi alis yang menukik. Ia sempat menghubungi beberapa gadis di buku tahunan sekolah Ditha. Baik yang bernama Vella, Felia, ataupun Falesha. Tidak ada satu pun yang punya keterkaitan dengan mendiang sang Kakak. Maka ia mengulang sekali lagi kegiatan membuka berkas Ditha.
"Selasa pagi, jam sepuluh, rapat pemegang saham Atmojo Group."
"Itu urusan Papa," jawab Dio singkat.
Herdian mendorong kacamata seraya menarik napas panjang. "Papa sudah membebaskan apa yang mau kamu lakukan."
"Perkara itu sudah selesai kata Silvi."
Perang dingin yang lalu usai, sebab Herdian mengangkat bendera putih terlebih dahulu. Dio dengan segala prinsip dan keinginan kuatnya sulit untuk dikendalikan. Ia sendiri sudah muak, anak itu benar-benar tidak peduli dengan apa pun selain dirinya sendiri. Herdian sudah kehabisan cara untuk bernegosiasi dengan anak itu. Padahal ia hanya ingin Dio mampu bersaing memperebutkan posisi pion utama kelak. Keturunan perempuan dari Cokroatmojo tidak diperkenankan menduduki kursi kepemimpinan. Anggota keluarga yang tidak menyandang nama belakang Cokroatmojo pun tidak diperkenankan untuk menjalani bisnis turun temurun tersebut, meski notabenenya menantu laki-laki.
Herdian tahu, anak itu sangat membenci Silviana, tapi siapa peduli? Toh, Silviana sebatas istri di mata hukum, Herdian tidak pernah menyentuh perempuan itu dan Sabrina bukan anaknya. Ia melakukan pernikahan kamuflase untuk melindungi Deasy di Bali dari segala kemungkinan-kemungkinan jelek yang akan menghampiri wanita itu jika masih berada di sisinya. Perceraian mereka terjadi karena Herdian yang mudah termakan oleh sebuah rekaman rekayasa. Sekarang, melalui beberapa bukti, ia tahu salah satu dari enam pion Atmojo Group adalah sang pelaku.
"Oxafia Djenara Nindyar. Putri semata wayang dari Zenar Adiyaksa kan?" Herdian bisa melihat sorot mata penuh kebencian dibalik kacamata yang putranya kenakan. "Manajer Keuangan di salah satu perusahaan BUMN." Ia mengangguk lamat-lamat, menunggu respons selanjutnya.
"Papa tidak berhak ikut campur urusan pribadi orang."
"Papa memang tidak berminat ikut campur. Seperti yang sudah Papa bilang, kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau." Herdian menyunggingkan senyum tipis.
"Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak berminat mengurus perusahaan itu." Dio membalas tatapan tajam sang ayah. "Saya bisa membangun perusahaan sendiri nanti, tanpa embel-embel Cokroatmojo." Ia beranjak menuju pintu, melewati pria paruh baya itu begitu saja.
"Good. Kamu sangat tahu, siapa predator yang bisa membunuh bisnis dan jabatan orang."
Anak itu berhenti melangkah, masih dalam posisi membelakangi. Herdian menemukan jelas kepalan tangan di sisi tubuh putranya.
"Sampai malam ini, Oxafia masih bisa tidur nyenyak di rumahnya yang cukup mewah. Gadis seperti Oxafia memang tidak cocok tinggal di lingkungan kumuh, apalagi jika ayahnya tiba-tiba masuk penjara," lanjutnya.
"Anjing," desis Dio.
Terdengar suara pecahan kaca yang jatuh di sekitar lantai. Anak itu baru saja melayangkan kepalan tangan pada cermin yang menggantung di dinding. Dalam medan perang sebelumya, anak itu belum memiliki sesuatu di luar area keluarga yang wajib dilindungi dan dijaga, selain ego dan prinsip. Berbeda dengan perang yang baru saja meletus malam ini. Herdian tersenyum puas.
Salah satu prinsip Herdian sendiri adalah mengalah untuk menang. Sebab mengalah bukan berarti berdiam diri menerima kekalahan. Kali ini tujuannya bukan hanya menang dari Dio, tapi juga memenangkan perang tak kasat mata dalam lingkup Atmojo Group. Membalas orang yang sudah membuat pondasi rumah tangga dan keluarganya berantakan. Atmojo Group memang serupa papan catur. Setiap tujuh pion akan menjadi orang-orang yang takut jatuh miskin dan haus akan kekuasaan tanpa disadari.
"Kamu bisa mempelajari berkasnya kalau minat bergabung dalam rapat," ucap Herdian sebelum meninggalkan putranya.
***
Trophospere? Kenapa mirip banget sama yang dibaca Kak Dio waktu itu?
Caca membalik kertas lusuh yang ditemukannya seusai merapikan kamar mendiang sang Kakak. Ia rutin melakukan kegiatan tersebut sekaligus mengenang, tapi ia baru melihatnya sekarang. Fella pernah punya pacar atau mungkin penggemar rahasia? Ia mencoba menggali ingatan.
From : D
To : FellaSuara dering ponsel mengalihkan fokus Caca. Ia segera memasukkan secarik kertas itu ke laci meja belajar, lalu meraih ponselnya. Ia tidak begitu hafal runut isi puisi aneh tersebut, tapi siapa inisial D yang tertera sebagai pengirim? Dio? Apa laki-laki itu pernah mengenal kakaknya? Tidak mungkin, tapi Dio tahu Trophospere? Caca mengembuskan napas perlahan. Rasa penasaran yang mencuat jadi memacu degup jantungnya.
"Halo, Kak?" Caca menjawab sambil memijat pelipis. Ia harus memastikan banyak hal nanti. Tidak sekarang, terlalu cepat dan bukan waktu yang tepat.
"Aku di depan. Bisa ke luar sebentar?"
"Kenapa enggak masuk aja, Kak?" Caca mengernyit saat melirik jam dinding. "Tumben ke rumah jam segini."
Tidak biasanya laki-laki itu berkunjung ke rumahnya selarut ini. Selain itu, biasanya Dio selalu memberi kabar terlebih dahulu kalau ingin berkunjung. Daripada membuang-buang waktu untuk mencari jawaban, ia membuka pintu lemari, menyentuh beberapa helai pakaian yang tergantung.
"Bisa ke luar sebentar?" pinta Dio lagi.
"Iya, ini aku mau turun."
Usai memakai cardigan, Caca menuruni tangga dengan langkah agak cepat. Tak lama ia berpapasan dengan ayah yang hendak menaiki anak tangga. Sepertinya bermaksud menghampiri kamarnya. Caca menyunggingkan senyum madu, lalu jemarinya mulai menyisir rambut. Pasti jam kedatangan Dio mengusik lelap sang ayah.
Ayah mengarahkan dagu ke pintu utama. "Pacar tuh datang, kasih tahu tiga puluh menit saja. Sudah mau tengah malam."
Seperti biasa, ayah dan segala peraturan ketatnya jika Dio berkunjung ke sini.
"Tega banget, Ayah. Orang bertamu nggak disuruh masuk," gerutu Caca.
"Sudah seminggu berdua di Bali, masih saja kurang."
"Habisnya mau sebulan enggak boleh."
Ayah berbalik menatapnya datar dari samping. Mereka menuruni tangga bersama. "Jangan macam-macam, sudah sana temui. Suruh pulang kalau sudah tiga puluh menit."
"Iya, nanti disuruh menginap, Yah."
Caca menggembungkan pipi sementara Ayah mengacak-ngacak rambutnya. Selalu, Ayah selalu menganggapnya anak TK. Kalau Dio sedang dalam keadaan genting, wajar saja 'kan? Dalam hati ia pun berharap laki-laki itu tidak membawa kabar buruk apa pun.
"Lebih dari tiga puluh menit, berarti tidak ada izin keluar rumah malam Minggu."
Peringatan menyebalkan itu membuat Caca berbalik. Tangannya meraih gagang pintu utama. "Ih, Ayah jahat!"
Begitu pintu terbuka, ia menemukan Dio yang duduk di kursi teras dengan pandangan lurus ke depan. Kelihatan sedang memikirkan sesuatu hingga tak menyadari keberadaannya. Minuman dan cemilan di atas meja sana pun utuh tak terjamah. Ia tidak begitu menyukai pemandangan semacam itu dari Dio Anggara. Belum sampai mendekati sepasang kursi yang memenuhi sebagian teras, laki-laki itu menoleh pelan. Pandangan mereka bersinggungan. Caca membaca sorot kekhawatiran pada bola mata hitam pekat itu.
"Kakak tumben enggak ngabarin kalau mau ke sini," kata Caca sebelum melengkungkan senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Electric Kiss ✓
Подростковая литература[END Segitiga 5 Sudut]"Indonesia beriklim tropis, hanya ada musim hujan dan kemarau. Hari kita terlalu manis, hingga kuarungi samudera bernama risau." Tragedi jam Cinderella asrama berhasil menyulap Dio dan Caca menjadi pasangan, padahal selama ini...