Ada sebuah cuitan yang membuat jabatan Dio tercoreng usai menemui Caca di belakang gedung A5. Sore itu dia menelepon Dio terlebih dahulu. Obrolan mereka singkat, hanya seputar Caca yang mengingatkan kebiasaan laki-laki itu melewatkan jam makan. Dia pernah sakit dan tahu bagaimana rasanya ketika tidak bisa makan padahal ingin. Kemudian obrolan diakhiri dengan laki-laki itu yang pamit untuk mengendarai motor.
"Habis dari mana?" tanya Vena ketika Caca memasuki kamar asrama.
"Telepon pacar dong," jawab Caca sembari mengibaskan rambut.
Mia berdecak. "Abaikan Caca dan khayalannya, guys."
"Eh, pacar gue nyata ya!"
Caca tidak terima dibilang tukang khayal. Memangnya dia hopeless romantic sampai-sampai berhalusinasi punya pacar?
"Tapi 'kan enggak pernah go public, ya sama aja terasa khayalan," sahut Dahlia yang mulai melahap keripik kentang di atas kasur. Kakinya menggantung di dinding.
"Lo kira Perseroan Terbatas?" Caca bertanya sambil mendorong kaki Dahlia.
Vena mengetuk-ngetuk pulpen di dagunya. "Lagi pula udah mau setahun kita sekamar. Sebentar lagi TPB juga kelar, tapi kita aja masih enggak tahu nama cowok lo. Apalagi wujudnya."
Ada rasa bahagia ketika mendengar masa TPB atau Tingkat Pengenalan Bersama ini selesai. Karena mereka akan keluar dari asrama dan jabatan Caca sebagai ketua asrama putri selesai.
"Sorry, cowok gue ini orang super penting jadi identitasnya enggak bisa sembarangan dipublikasikan." Caca tidak sedang menyombongkan Dio, tapi pada faktanya memang begitu.
"Yah, itu mah antara lo beneran dianggap atau cuma pelarian doang, Ca," celetuk Mia.
Caca mendelik kesal ke arah Mia. Kalimat gadis itu barusan seperti pemantik yang dilempar ke jerami. Menimbulkan api dan panas yang tidak kasat mata secara tiba-tiba. "Itu udah kesepakatan bersama. Masing-masing orang 'kan punya cara tersendiri untuk menjaga hubungannya. Lo yang jomblo mah enggak usah mengumbar teori."
Mia berhenti membaca buku, sebelah alisnya terangkat tinggi-tinggi. "Enggak usah nyolot dong, Ca. Gue kan cuma menyarankan lo supaya hati-hati aja dengan hubungan yang semacam itu."
Sontak Caca menghampiri Mia yang duduk di kasur. Baginya perkataan Mia sudah keterlaluan. Ia tidak menyukai orang-orang yang berkomentar tanpa tahu duduk perkaranya. "Iya, tapi gue enggak suka cara lo ngomong!"
Vena dan Dahlia buru-buru merelai dua gadis yang mulai memanas. Mereka berdiri di tengah-tengah, mencegah perang yang akan meletus.
"Eh, udah-udah ..., jangan sampai tetangga kanan kiri dengar, ya ampun!" tukas Vena yang kini memegangi bahu Caca.
"Caca aja nih baper," balas Mia.
Baik, Mia masih tidak mengakui ucapannya yang sudah membuat Caca marah.
"Kok gue? Ya, elonya dong! Otak itu posisinya lebih tinggi dari mulut. Jadi biasakan berpikir dulu sebelum bicara!" Caca menepis tangan Vena di bahu, kemudian melangkahkan kaki ke luar kamar dengan gusar.
Seperti perempuan normal lainnya, Caca kembali menelepon Dio di saat perasaannya bercampur aduk. Laki-laki itu memang tidak akan banyak berkomentar, tapi Dio pendengar yang baik. Mereka sepakat bertemu di belakang gedung A5. Area itu jarang dilewati mahasiswi, karena terletak di ujung dan dekat dengan hutan belantara. Kesan mistis di sana sangat kental, kata beberapa mahasiswi.
Mereka tidak melakukan hal tidak bermoral di sana. Dio masih mengenakan almamater BEM dan hiasan ban kapten di lengan kiri, ketika Caca berhenti menggulir layar ponsel. Laki-laki itu baru pulang dari pertemuan antar presma di Universitas Juanda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Electric Kiss ✓
Novela Juvenil[END Segitiga 5 Sudut]"Indonesia beriklim tropis, hanya ada musim hujan dan kemarau. Hari kita terlalu manis, hingga kuarungi samudera bernama risau." Tragedi jam Cinderella asrama berhasil menyulap Dio dan Caca menjadi pasangan, padahal selama ini...