17. Tentang Diary

993 164 73
                                    

Terik matahari bisa dikatakan lumayan menyengat. Entah ke mana perginya semilir angin. Sudah sekian puluh menit mereka berdiri di trotoar ini bersama sekelumit kebodohan. Caca bahkan menghitung sekitar enam mobil, tiga motor, dan empat angkutan umum yang lewat. Harusnya sejak menginjakkan kaki di trotoar ini mereka menyeberang, bertemu seseorang, lalu menyelesaikan masalah. Akan tetapi, laki-laki yang mengenakan kacamata frame hitam itu masih saja bergeming. Entah sampai kapan, mungkin menunggu jalanan ini terbelah dua.

"Ayo," ajak Caca.

Dio menahan tangan Caca dan langkah gadis itu terhenti. "Tunggu, Ca."

Caca menghela napas ketika mereka bertemu pandang. "Kenapa?"

"Besok aja." Dio berbalik tanpa melepaskan gadis itu.

Kali ini Caca yang menahan tangan Dio. "Enggak. Enggak ada hari esok lagi. Kita udah bolak-balik tiga kali memantau rumah Mama dari sini tanpa kamu berani ke sana." Gadis itu mengejar pandangan matanya. "Mau sampai kapan?"

"Kita jalan lagi aja ke Tanah Lot atau Jimbaran, terserah kamu," bujuk Dio. Hari ini ia dengan senang hati bersedia menuruti ke manapun Caca ingin pergi. Kecuali ke rumah itu.

"Aku enggak mau jalan-jalan kalau tujuan kita belum tuntas."

Dio memegangi sebelah bahu Caca, lalu sedikit menunduk. "Besok aja ya, Ca."

"Enggak."

Gadis itu menepis tangan Dio, lantas berlari ke arah rumah yang sudah tiga kali mereka pandangi selama dua hari di Bali. Apa yang gadis itu katakan benar, ia belum juga berani mendatangi Mama. Jika Mama sudah bahagia dengan keluarga barunya, apa Dio akan diterima dengan tangan terbuka? Sementara kabar yang dibawa pun hanya tentang kepergian Ditha. Di antara perang tanya dalam kepala, Dio mengejar gadis itu.

Setelah beristirahat di hotel selama satu hari penuh, mereka mencari alamat yang didapat dari tangan kanan ke tiga Herdian Cokroatmojo. Dio perlu merogoh kocek lumayan dalam untuk informasi itu. Plester guna menambal mulut tangan kanan Papanya tidak semurah biaya pendidikan selama satu semester apalagi biaya kos. Tak hanya bermodal nekat, tabungan pun dibutuhkan guna mengorek ranah informasi seorang Herdian Cokroatmojo. Dio memijat batang hidung saat Caca sudah lebih dulu bertemu dengan wanita itu. Ia akhirnya bersembunyi dibalik pohon kelapa terdekat. Sosok wanita yang sebenarnya tidak pernah luput dalam do'a itu menyambut Caca dengan senyum penuh keibuan.

"Cari siapa, Nak?"

"Maaf Tante, apa benar ini rumah ...." Caca mengerjapkan matanya, mencoba mengeja gelar wanita yang berdiri di depannya dalam hati supaya tidak salah. Ia hanya sempat melihatnya sekilas. "Ibu Raden Ayu Deasy Arisanti Puspandari?"

Dio berdecak, harusnya Caca tidak perlu menyebutkannya selengkap itu. Spontanitas Oxafia Djenara Nindyar sering kali menguji batas kesabarannya. Mama kelihatan sangat kurus dibanding yang terakhir kali Dio ingat. Apa Mama sedang sakit?

"Iya benar, saya Deasy. Ada perlu apa, Nak? Kamu mau antar sumbangan untuk panti?" Senyum kembali merekah di bibir wanita itu.

Dahi Dio berkerut karena mendengar itu. Sejak kapan Mama mengelola panti asuhan? Ia tidak pernah mendapatkan informasi tentang itu sama sekali.

"Oh, bukan, Tante. Saya temannya Dio Anggara Cokroatmojo," jelas Caca lagi.

Mata Deasy membulat sempurna. Jantungnya seolah berhenti berdetak kala mendengar nama lengkap putra semata wayangnya.

"Kamu ... teman Dio?" Kini kedua tangan Deasy memegangi bahu gadis di hadapannya.

Gadis itu mengangguk.

"Kamu ... ke sini sama Dio?" Suaranya terbata-bata. Air mata Deasy pun mengalir bahkan sebelum terbendung.

"Iya, Tante."

Electric Kiss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang