10. Rumah Mendung

1.1K 182 76
                                    

Dio menyusuri kawasan Bumi Serpong Damai usai menghadiri pertemuan komunitas programmer di Senayan. Aneh, biasanya ia tetap pulang ke indekos meski hujan badai menerpa. Hari di mana sang ayah berada di rumah adalah waktu terlarang bagi Dio menampilkan batang hidung. Harus begitu bagaimanapun caranya. Kecuali ketika rasa rindu pada Ditha sulit ditepikan, ia menyingkirkan ego dan memaksakan pulang.

Ya, hari ini mungkin ia sedang rindu Ditha.

Dio menutup garasi Herdian Cokroatmojo yang menggunakan sistem retina biometrik sebagai keamanan. Garasi tersebut hanya bisa dibuka oleh anggota keluarga lewat pemindaian retina, salah satunya milik Dio. Motornya terparkir apik, sejajar dengan belasan kendaraan keluarga, sedangkan empat mobil operasional dibiarkan terpajang di luar.

"Den, Non Ditha enggak keluar kamar sejak kemarin."

Baru saja berbalik, ia menemukan Bi Ratmi. Raut wanita baya tersebut menyiratkan kegelisahan jelas. Alih-alih terserang panik, Dio menarik santai zipper pada jaket.

"Dia memang biasanya begitu, Bi. Keluar kalau lapar doang," jawab Dio.

Bi Ratmi menemaninya melintasi ruang tengah. Terpajang foto keluarga berukuran 30 x 20 cm, piguranya berwarna hitam pekat. Guci-guci bercorak keemasan diletakkan di tiap sudut. Piano besar kesayangan Mama masih tampak manis dekat jendela. Dio menarik napas panjang, piano itu sekarang bisu. Sang pemilik menjadikannya sebagai sesuatu yang terlupakan.

Mungkin ia dan Ditha termasuk bagiannya.

Bi Ratmi menahan lengannya sebelum menaiki tangga melingkar menuju kamar. "Coba dipanggil ya, Den."

Dio tersenyum tipis, mengusap tangan wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya dan Ditha. Sosok seorang ibu yang selalu hadir daripada ibu kandung mereka sendiri.

"Iya, Bi. Jangan khawatir ya."

Bi Ratmi mengangguk seraya melepas lengannya.

"Bi, orang-orang pada ke mana?" Dio bertanya karena rumah terasa begitu lengang sejak melintasi halaman.

"Bapak, Ibu, dan Non Sabrina pergi ke Australia, Den."

Mengangguk seraya menyeringai, langkah Dio terasa begitu ringan menapaki anak tangga. Tentu karena orang-orang yang paling malas ia temui sedang pergi menghabiskan waktu berkualitas di luar negeri. Selang sekian detik, kekhawatiran tidak jelas justru menyambangi benak. Ia mengingat pesan Bi Ratmi sekaligus mempercepat langkah tiga kali lipat. Bisa-bisanya sang ayah meninggalkan Ditha sendiri. Dio menggedor-gedor pintu kamar bewarna merah muda dengan lukisan vokalis Paramore tergantung.

"Dit, buka! Jangan bikin susah. Bi Ratmi khawatir."

Belum kunjung ada pergerakan. Dio men-dial nomor ponsel Ditha, tetapi tidak aktif. Lagi, segala pikiran aneh melintas hanya karena hal yang harusnya terasa sangat biasa. Ya, Ditha biasa mengunci diri di kamar.

"Dit, buka!" Dio menggedor lagi. "Pilih gue rusak pintu atau jendelanya?"

Biasanya jika sudah mengancaman, Ditha akan membuka pintu diiringi raut jengkel. Gadis itu akan memukuli Dio menggunakan bantal berkali-kali sepuasnya. Kekhawatiran tidak jelas yang sempat ditekan sekarang meluber parah. Ia berlari menuruni tangga secepat kilat. Pikirannya mendadak kacau, padahal ia bisa memanggil pelayan menggunakan telepon yang tersedia di tiap lantai.

"Bagaimana, Den?" tanya Bi Ratmi lagi.

Tujuan Dio selanjutnya adalah gudang.

"Enggak tahu, Bi. Mungkin si Didit lagi menyimpan banyak makanan di kamar."

Didit merupakan panggilan kesayangan darinya. Dio berdecak. Perkara Ditha malas keluar kamar kemarin dianggap wajar. Mereka mengira semua itu karena kamar difasilitasi kulkas, kamar mandi, sofa, dan home teater. Sehingga Ditha merasa tidak membutuhkan apa pun di luar kamar, selain pergi ke kampus. Akan tetapi, kali ini berbeda, benak dan pikiran Dio kacau balau menebak kemungkinan lain.

Electric Kiss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang