05 | Arjun Lesmana

25 6 1
                                    

Arjun Lesmana

Nama gue Arjun Lesmana. Kalian boleh memanggil gue Ales. Gue adalah orang yang paling dekat dengan Ekal, setidaknya pernah, beberapa tahun yang lalu.

Waktu itu gue dan Ekal masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Semuanya masih seperti biasa, kita bermain bersama-sama.

Gue dan Ekal punya ritual tersendiri setiap ulang tahun kami masing-masing, yang pasti bukan ritual yamg melibatkan kemenyan dan kawan-kawan. Cuma ritual khas anak-anak. Jika Ekal ulang tahun gue akan memberikan sesuatu yang paling enggak di sukai oleh Ekal, begitu juga Ekal terhadap gue. Aneh memang, disaat kebanyakan orang justru membelikan hadiah yang paling di sukai orang yang ingin diberi, kami malah melakuakn hal yang sebaliknya.

Ritual itu berlangsung sampai beberapa tahun. Hingga akhirnya sesuatu hal membuat gue berhenti melakukan itu pada Ekal. Ekal menatap gue bingung sebab pada hari ulang tahunnya gue enggak membawa apa-apa kecuali emosi yang udah gue pendam sejak lama.

Gue tau, bukan salah dia sebenarnya, tapi gue terlalu muak untuk mendengar pujian-pujian yang orang tua gue lontarkan untuk seorang Sekala Adikarta tanpa memperdulikan perasaan anaknya sendiri.

Ekal tumbuh menjadi anak yang ganteng, meski gue enggak kalah ganteng. Tapi dia adalah paket komplit dengan segudang prestasi. Ekal yang notabe nya adalah anak dari teman-sangat-dekat ayah gue menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga gue.

Bahkan saat di meja makan orang tua gue selalu membahas ekal dan membanding-bandingkan kepandaian gue dan Ekal.

"Kemarin Ekal juara nasional olimpiade matematika tingkat SMP. Kamu kapan?"

"Kemarin Ekal juara umum di sekolah. Masa kamu enggak bisa."

"Ekal.."

"Ekal.."

Ekal pintar, Ales bodoh.

Itu kata kuncinya.

Gue muak, hari itu tepat ulang tahun Ekal. Di ulang tahunnya ke empat belas. Gue mulai mendeklarasikan kebencian gue atau mungkin keirian?

"Hari ini aku ulang tahun. Kamu enggak bawa hadiah untuk aku?" Ekal dengan dengan lingkaran besar di bawah matanya menatap gue kecewa.

"Gue enggak akan memberi lo hadiah lagi, sampai kapan pun."

"Kamu kok ngomongnya jadi lo gue gini?"

"Gue muak sama lo Kal, muak. Lo selalu menjadi kebanggaan bokap nyokap gue, sedangkan gue enggak dianggap."

"Maksud kamu apa? Aku enggak ngerti."

"Intinya gue muak sama lo, dan ingat, gue akan merebut apa pun yang lo miliki."

Gue marah besar, mata gue berkeliling mencari sembarang benda di sekitar untuk gue banting. Hingga tatapan gue menemukan sebuah poto yang dibingkai kaca, tanpa basi basi mengambilnya lalu menghempaskannya.

Gue terkejut, sebab  pertama, ternyata poto berbingkai kaca itu ternyata poto ekal dengan Luna, adeknya yang beberapa hari lalu berakhir eksistensinya. Kedua, banyak pecahan kaca yang menancap pada kaki Ekal. Sungguh gue enggak bermaksud waktu itu.

"Ma-maaf ak--" Kata-kata gue berhenti sebab sorot terluka yang di perlihatkan Ekal.

Gue enggak tahu sebesar apa suara bantingan itu terdengar sampai seluruh penghuni rumah berlarian masuk ke dalam kamar Ekal.

Gue menangis, meminta maaf kepada orang tua Ekal. Gue tahu hari itu gue terlalu egois mementingkan perasaaan gue disaat Keluarga Adibrata sedang berduka akan berakhirnya eksistensi Luna. Mereka hanya mengusap bahu gue sebagai jawaban atas permintaan maaf gue.

Masalah hari itu selesai, seharusnya. Dan gue bisa meminta maaf pada ekal. Tapi tidak dengan orang tua gue. Hari itu, mereka menjemput gue di rumah Ekal dengan muka merah padam. Mereka memarahi gue hingga mengucapkan kata-kata kasar. Esoknya gue dipaksa pindah ke luar negeri untuk tinggal bersama nenek gue.

Tiga tahun udah berlalu, gue kembali. Orang tua gue seakan lupa mempunyai seorang anak bernama Arjun Lesmana. Tapi gue enggak masalah. Mereka akan kembali mengakui gue di saat gue udah menunjukkan bakat gue. Kata nenek, gue pemain piano yang handal. Gue dengan kenarsisan gue, mengakui gue emang sangat handal dan sangat tampan. Cewek-cewek kurang belaian pasti sangat mndambakan cowok setampan malaikat seperti gue ini.

Tapi prioritas gue adalah meminta maaf pada Ekal. Gue enggak menjamin kalau permintaan maaf gue di terima,tapi gue akan berusaha.

Dihari kedua gue kembali, gue tertarik pada suatu kafe bernama Pertrichor. Lonceng berbunyi tatkala gue mendorong pintu, membuat pasang mata kontan menatap pada gue. Gue mengedarkan pandangan dan tersenyum lebar ketika menemukan sebuah piano di panggung kecil di sudut ruangan. Gue menghampiri sessosok cewek yang berdiri di balik meja.

"Mbak, piano di sudut sana boleh di mainin enggak?"

Kaya nya senyum gue terlalu manis sampai muka si mbaknya memerah.

"Tu-tunggu saya tanya pemilik kafenya dulu." mbak itu menjawab sambil terkikik. "Betewe mas itu ada cabe di gigi nya." Mbak itu membalikkan tubuh dan berjalan ke sebuah pintu sebelum menghilang dari pandangan.

Sialan, bisa-bisanya gue malu-maluin. Udah cakep kuadrat nih cabe masih aja kegatelan suka nyantol. Dengan bermodal kamera ponsel dan sehelai tisu yang gue curi dari meja si mbak, sang cabe pun tak lagi berada di gigi gue.

"Gimana mbak?" Reflek gue bertanya saat si mbak telah berdiri kembali di depan gue.

"Katanya boleh mas, yang biasa main di sini juga sedang cuti."

"Maksud saya, sayanya gimana? Udah ganteng maksimal belum?" Gue menyisir rambut gue dengan jari saat si mbak mengacungkan kedua jempolnya.

Dengan penuh percaya diri gue berjalan ke panggung kecil untuk kemudian duduk di atas kuarsi kecil di belakang piano. Kok pantat gue tiba-tiba jadi dingin ya. Gue yang gugup apa ini kursi ada AC nya ya?

Untuk mencegah kegugupan gue mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru hanya untuk bersitatap dengan cewek dengan binar mata yang membuat gue seakan terbius. Elah.

Tak ingin berlama gue langsung menarikan jari gue diatas piano, menciptakan nada-nada yang menyihir sepenjuru kafe. Gue disambut banyak tepuk tangan saat permainan gue selesai, termasuk cewek itu. Gue udah bilangkan,kalau gue itu pemain piano yang handal dan sangat tampan. Aw

Awalnya gue hanya berniat menghampiri cewek itu, ya itung-itung tukeran nomor telepon lah ya. Tapi pandangan gue enggak sengaja bersitatao pada cowok di sebelah nya. Itu Ekal, sohib gue-harap-masig-begitu.

Melihat ekspresinya gue tau dia enggak menyangka akan bertemu gue disini. Dengan tololnya dia mengambil sendok dan bersembunyi di baliknya. Gue kira tiga tahun ini membuat kegoblokannya berkurang, ternyata enggak, tambah parah.

Kayaknya dia masih mengingat apa yang gue ucapkan pada hari itu, hingga tanpa sengaja gue melihat gerak gerik nya yang posesif terhadap cewek itu. Mungkin cewek itu enggak sadar kalau Ekal udah menggeser kursinya mendekat ke arahnya. Yah, gagal jadi gebetan.

Tapi takut-takutin Ekal seru juga.

"Gue akan merebut apa yang lu miliki Kal, ingat kan?" Gue berbisik pada telinganya dengan nada memperingatkan.

Tenang Kal, enggak bakal gue ambil. Kalau enggak khilaf.

Gue menegakkan badan, beralih menatap cewek di sebelah Ekal.

"Arjun Lesmana. Panggil gue Ales."

Huft.

Tanpa sadar, gue telah masuk ke lingkaran setan.

Enggak, maksud gue.

Tanpa sadar, entah besok atau kapan, gue terjebak cinta segitiga kaya adegan ftv-ftv.

-rav

Star Fate ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang