|| 1.1

25 11 3
                                    

Chan pergi satu jam yang lalu dengan dompetnya tanpa pamit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chan pergi satu jam yang lalu dengan dompetnya tanpa pamit. Changbin tidak punya agenda apa pun hari ini. Dia berencana tidur seharian dan makan mie. Changbin butuh sedikit hiburan yang bisa menyenangkannya di tengah jajahan keputusasaan. Tapi mengurung diri dalam ruangan seharian bukan ide bagus.

Dia merasa bosan. Langit sudah menggelap di luar sana dan Changbin masih melekat di karpet lantai. Pemalas yang tidak tahu diri. Changbin butuh uang dan dia harus bergerak bukan hanya diam.

"Besok saja," katanya, pada diri sendiri. "Atau mungkin malam ini."

Tiba-tiba tubuh Changbin bangkit duduk. Matanya menatap jam bulat yang tergantung di dinding dengan cat yang sudah mengelupas dan memudar. Belum ada uang untuk memperbaikinya atau Changbin memang tidak peduli lagi. Satu bulan lagi jatuh tempo pembayaran flat dan dia tidak berencana untuk melanjutkannya.

Iya, Changbin berencana untuk pulang dan membantu Ayahnya bertani di desa saja. Jadi juragan lobak.

"Kita lihat di luar sana ada apa." Seakan ada kekuatan besar yang merasuki dirinya, Changbin langsung berdiri, menyambar jaket dan topi hitamnya di atas sofa butut lantas berjalan keluar.

"Astaga!"

Seseorang terkejut ketika mendapati Changbin keluar begitu gesit dari pintu. Seolah terburu-buru. Padahal tidak punya tujuan. Menyadari kehadiran orang lain membuat Changbin berbalik. Menatap heran pada pemuda yang baru dilihatnya itu.

"Maaf."

"Aku penghuni baru flat sebelah." Pemuda itu dengan ramah mengulurkan tangannya, bermaksud berkenalan. Jadi tidak ada alasan untuk Changbin menolak sikap rendah hati itu. "Han Jisung. Panggil dengan marga saja. Nama Jisung terlalu pasaran. Di kelasku ada empat nama Jisung. Park Jisung, Kim Jisung, Lee Jisung dan aku Han Jisung."

Kedua alis Changbin tiba-tiba menukik. Bacot sekali, batinnya berkomentar.

"Akan menjadi sebuah kehormatan bagiku bisa mengetahui namamu, Sobat," lanjutnya, menggoyangkan jabatan tangan mereka. Kedua sudut bibirnya selalu tertarik bertentangan. Tersenyum lebar sekali sampai membuat Changbin sedikit ngeri. "Apa aku terlihat aneh di matamu, Kawan?"

"Namaku Seo Changbin. Dan, ya, kau aneh. Tapi rupamu seperti manusia Bumi. Aku tidak tahu apa penghuni Pluto serupa denganmu juga."

Han terbahak-bahak dan melepas jabatannya untuk memegangi perut, "Oke. Kau masih bermimpi? Atau, hei, semalam kau mabuk?"

Changbin menggeleng pelan dan bermaksud untuk lekas pergi. Meskipun tidak tahu hendak kemana, sepertinya akan lebih baik jika dirinya menjauh dari pemuda yang baru saja dikenalnya ini.

"Bung, harusnya kau mencuci wajah dulu. Ada jejak aliran di sudut bibirmu."

Langkah kelima Changbin terhenti. Kepalanya menoleh ke samping. Dia tidak bisa melihat Han, tapi dia tahu pemuda itu mendekat ke tempatnya sekarang.

"Bukan urusanmu."

"Tentu saja. Itu urusanmu. Kau yang menanggung malu jika gadis-gadis di depan toserba memperhatikannya." Han menyejajarkan tubuh dengan Changbin dan tersenyum angkuh. "Ayo, kita makan. Aku yang bayar. Anggap saja ini perayaan kecil untuk pertemanan kita."

"Serius?!"

Oh, wajah malang dan tampak mengemis itu mengganggu pandangan Han.

"Tentu saja."

"Akhirnyaaa, yes!" Seperti halnya baru saja memenangkan lotre atau mendapat notifikasi memenangkan giveaway dari olshop yang diikutinya di Instagram. Changbin tertawa senang. "Akhirnya. Haha. Akhirnya."

"Apa ada yang salah denganmu, Sobat?" Han bertanya cemas.

"Akhirnya aku bisa makan selain dengan mie instant."

Changbin benar-benar bahagia sampai rasanya ingin memeluk Han dan menghujani wajahnya dengan ciuman terima kasih. Tapi semua itu sangat mengerikan hanya sekadar membayangkannya saja. Apalagi melakukannya.

BIG NO!

"Jadi kau mau makan apa?" Han tertawa paksa untuk menghilangkan kebingungannya.

Sifatnya yang periang bisa dengan mudah membaur dengan kondisi dan situasi. Sifat yang bersahabat dan tampak terbuka. Han seperti jelmaan malaikat di hadapan Changbin saat ini. Pemuda itu akan menyelamatkan dirinya dari ancaman usus buntu dan kekurangan gizi.

Semoga Tuhan memberkatimu, Han Jisung.

"Aku ingin makan ramen." Changbin membalas cepat.

Han menutup matanya, tampak berpikir. "Ramen itu bukannya mie juga."

"Kita cari ramen yang tidak ada mie-nya."

Han tertawa dan merangkul Changbin untuk segera berjalan.

"Tidak ada otak."

[]

ᴇɴᴛʀᴀɴᴄᴇ || ꜱᴇᴏ ᴄʜᴀɴɢʙɪɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang