X

2.7K 303 45
                                    

Kadang Jaehyun bingung, semua kejadian yang menimpanya bertubi-tubi ini, sebenarnya siapa yang benar-benar bisa ia salahkan?

Salahnya? Kesalahan macam apa yang ia lakukan di kehidupannya yang sebelumnya? Jaehyun selalu berusaha menjadi orang baik untuk siapapun, bahkan untuk Yuta yang sudah melakukan banyak hal padanya, ia masih memberinya pengampunan tanpa ada niat untuk membalas. Jaehyun bukan iblis, bukan pula malaikat, ia hanya manusia biasa yang jelas tak luput dari dosa. Tapi, kenapa kadang ia merasa menjadi seorang pendosa yang tak perlu diberi pengampunan?

Atau salah takdir yang entah bagaimana sudah diatur sedemikian rupa untuk menyiksanya? Katakan Jaehyun berlebihan, menganggap bahkan tidak ada yang ingin berdiri di sampingnya, tapi sudah terlalu banyak hal yang menyandung kakinya sejak ia bahkan belum paham kalau di dunia ini dipenuhi Iblis. Sudah terlalu sering ia jatuh sampai luka di kakinya menganga semakin lebar, mungkin sebentar lagi membusuk jika saja tidak diobati.

Bahkan ketika ia sudah menemukan malaikatnya dan diperbaiki sedikit demi sedikit, ketika sudah dipertemukan kembali dengan Iblis.

Ia mulai meragukan segalanya, termasuk keinginannya untuk tetap berdiri.

***

Ada banyak pertanyaan di kepala Jaehyun, terlalu banyak sampai rasanya kepalanya nyaris meledak karena terlalu banyak menampung pertanyaan yang entah kenapa tidak ada yang mau menjawabnya. Seperti bagaimana ia terbangun dalam dekapan Johnny saat itu, bagaimana kondisi Yuta, atau apa yang benar-benar terjadi saat itu.

Banyak hal yang dialami Jaehyun selama tiga hari di rumah sakit.

Ya, Jaehyun kembali berbaring di rumah sakit. Semua lukanya diobati dan gizinya diperbaiki. Orang berlalu lalang di ruang inapnya, entah itu dokter, suster atau psikolog yang mengurusnya bahkan Johnny yang senantiasa mengorbankan waktu kerjanya, tapi pertanyaan itu masih berlanjut menjadi misteri. Tidak ada satupun yang mau memuaskan kuriositasnya. Mereka hanya bilang, Jaehyun akan diberi tahu ketika ia sembuh secara total dan mungkin akan memakan waktu lebih lama dari pengobatannya yang sebelumnya.

Luka ditubuhnya kembali terbuka karena ulah pelukisnya sendiri, bahkan ada yang bertambah di beberapa bagian tertentu. Kondisinya saat ditemukan jauh dari kata "baik". Tubuhnya mengurus, pipinya menirus. Bibirnya memucat, terkoyak di bagian pinggirnya. Warna ungu menghiasi bagian wajah, leher, perut, lengan dan paha. Jaehyun tidak yakin warna itu muncul hasil dari pukulan, atau bibir dan gigi pria Jepang itu. Luka gores yang memanjang bertambah di perut, membentuk pola yang sepertinya membentuk deretan huruf dengan aksara Jepang, ia paling benci luka itu, mengingat ia akan terus berada di sana sampai ia mati.

Dan Jaehyun tahu, ia tidak hanya terluka secara fisik, tapi sesuatu yang berada di dalam tubuhnya pun ikut terluka. Membuatnya sering menangis, tidak bisa ditinggal, histeris, tapi kadang pula ia akan melamun dalam jangka waktu yang lama. Itu yang membuatnya sakit lebih lama.

"Bukannya itu menyebalkan, Noona?"

Jaehyun menatap wanita itu dengan pandangan lelah. Wanita ini sudah menjadi celengan keluh kesahnya sejak ia berbaring di kasur itu beberapa hari yang lalu. Wajahnya menyenangkan dan hangat, entah kenapa lebih senang dipanggil noona daripada dokter. Ia selalu mendatangi kamar Jaehyun setiap pukul 4 sore. Pertanyaan sederhana seperti "bagaimana harimu?" atau "bagaimana perasaanmu?" tidak pernah membuat Jaehyun merasa bosan.

"Apa yang menurutmu menyebalkan, Jaehyun?"

Jaehyun akan menjadi sangat jujur ketika wanita itu sudah bertanya. Dan hari ini, kejujuran itu memuncak. Biasanya Jaehyun mengatakan kalau ia membaik atau merasa kesepian karena Johnny terlambat pulang kerja. Tapi, kali ini ia benar-benar jujur kalau ia merasa lelah dengan semuanya. Entah itu karena luka di tubuhnya atau karena semua yang tidak bisa ia kontrol semaunya. Seperti perasaannya atau mungkin beban di kepala dan pundaknya.

"Noona sendiri tahu kenapa kita dipertemukan."

Helaan napas Jaehyun memanjang seiring waktu.

"Aku lelah diobati, ini sudah kali keduaku masuk rumah sakit karena orang yang sama. Juga, kedua kalinya aku merepotkan orang lain. Aku juga lelah merasakan perasaan ini, dimana rasanya akulah orang yang paling tidak berdaya."

Jaehyun menarik helaan napas keduanya, kali ini lebih kasar.

"Kadang aku merasa bersalah karena aku tidak bisa melawan sama sekali. Aku melawan sebisaku, tapi berikutnya aku sadar kalau aku terlalu lemah untuk itu."

Yoona tersenyum, ia menatap manik karamel Jaehyun secara langsung ketika ia menunduk. Wanita itu tidak berkata apa-apa, seakan memaksa Jaehyun untuk terus melanjutkan jawabannya. Jaehyun diam sebentar. Ia tahu, seharusnya ia sudah tidak bisa menangis lagi, hal itu juga sudah terlalu melelahkan untuknya.

Tapi pemuda ringkih itu meneteskan air matanya. Ia meremat erat pergelangan tangannya.

"Noona, akhir-akhir ini aku merasa ingin menyudahi semuanya."

Dan mengucapkan kalimat itu, tanpa tahu kalau Sang Malaikat mendengarnya di balik pintu dengan debar jantung yang dimainkan secara vivace.

***

Warn: slightly🔞

Bulan menduduki singgasananya, cahayanya menyusup melewati kaca jendela, membuat ruangan yang redup itu mendapatkan sedikit penerangan. Di dalam sana, jemari lentik Jaehyun meremas erat bahu kokoh yang berada di dekatnya. Jaehyun tidak ingat apa yang terjadi, tapi bibirnya sudah memagut bibir tebal Johnny, bunyi kecipak saliva membuat suhu ruangan mendadak memanas. Jaehyun bahkan sudah sesekali mengerang kala bibirnya diisap lembut atau lidahnya dimainkan.

"Jaehyun...."

Jaehyun merasakan tautan bibir mereka dilepas perlahan. Manik obsidian Johnny menatapnya dengan penuh cinta yang mungkin begitu dalam. Ia mematri wajah tampan Jaehyun, matanya yang semanis karamel, pipi yang memerah juga bibir yang menebal dengan sisa saliva yang entah milik siapa. Napas Jaehyun terdengar begitu pelan namun tidak beraturan.

Tangan Johnny terulur untuk mengusap pipi, naik ke rambutnya. Perlahan Jaehyun merasakan tubuhnya didekap erat, seperti malam itu. Johnny menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jaehyun, tak banyak yang ia lakukan selain menghirup aroma tubuh Jaehyun yang begitu manis secara natural.

"Aku memang tidak pernah mengatakannya padamu, benar, Jaehyun? Kalau aku tidak ingin kehilanganmu?"

Jaehyun bungkam. Tangannya mengusak surai malam sosok yang lebih tua.

Sebenarnya ia masih terlalu bingung dengan apa yang terjadi. Ketika Yoona pulang, Johnny memasuki ruangan dengan raut wajah yang tidak bisa dimengerti. Tapi, senyum terus mengembang di wajah tampannya. Hanya saja ketika malam, mungkin pemuda itu sudah tidak bisa menahan semua perasaan yang memberatkan dadanya.

"Hari saat kau menghilang, tak pernah sekalipun seumur hidupku aku merasa jantungku seakan diambil paksa keluar dari tempatnya. Pekerjaanku kacau, aku menghabiskan waktuku di kantor polisi dan berusaha sebisaku untuk  segera menemukanmu."

Melihat Johnny yang seperti ini meyakinkannya kalau apa yang ia lihat malam itu bukanlah mimpi. Johnny benar-benar menjatuhkan air matanya karenanya.

"Ketika kamu sudah ditemukan pun, aku masih merasa jantungku belum kembali secara sempurna. Aku melihat kondisi Jaehyun-ku dipenuhi luka dan aku mulai membayangkan semua kemungkinan buruk terjadi padanya."

Wajah Jaehyun memang tidak banyak menampilkan banyak ekspresi. Ia hanya menatap balik wajah Johnny yang menatap sendu padanya. Tangannya mengelus lembut pipi dari wajah kesukaannya.

Menghapus air mata yang ditahan mati-matian.

"Maafkan aku Jaehyun. Tolong berikan aku kesempatan untuk menjagamu sekali lagi. Aku berjanji akan menjagamu jauh lebih baik dari kemarin.

Aku tidak ingin hidup di mimpi buruk seperti kemarin-kemarin.







Aku mencintaimu, Jung Jaehyun."

—TBC

1004 || JohnjaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang